Pages

Tuesday, October 18, 2011

Petani dan mata air ajaib...

Alkisah, seorang petani menemui sebuah mata air ajaib. Mata air itu boleh mengeluarkan kepingan wang emas yang tak terhingga banyaknya. Mata air itu boleh membuat si petani menjadi kaya raya seberapapun yang diinginkannya, sebab mata air wang emas itu hanya akan berhenti bila si petani mengucapkan perkataan “cukup”. Seketika si petani terpana melihat kepingan wang emas berjatuhan di depan matanya.

Diambilnya beberapa baldi untuk menampung wang percuma itu. Setelah semuanya penuh, dibawanya ke pondok kecilnyanya untuk disimpan disana. Pancuran wang terus mengalir sementara si petani terus mengisi semua karungnya, seluruh tempayannya, bahkan mengisi penuh rumahnya.


Masih kurang! Dia menggali sebuah lubang besar untuk menimbun emasnya. Belum cukup, dia membiarkan mata air itu terus mengalirkan wang emas hingga akhirnya petani itu mati tertimbus bersama ketamakannya kerana dia tak pernah boleh berkata cukup.

Perkataan yang paling sukar diucapkan oleh manusia kemungkinan adalah perkataan “cukup”. Bilakah kita boleh berkata cukup? Hampir semua pegawai merasakan gajinya belum boleh dikatakan sepadan dengan kerja kerasnya.

Peniaga hampir selalu merasakan keuntungan perniagaanya masih di bawah target. Isteri mengeluh suaminya kurang beri perhatian padanya. Suami berpendapat isterinya kurang mengerti kehendaknya. Anak-anak menganggap orang tuanya kurang murah hati.

Semua merasa kurang dan kurang. Bilakah kita boleh berkata cukup?

Cukup bukanlah pasal berapa jumlahnya. Cukup adalah persoalan kepuasan hati. Cukup hanya boleh diucapkan oleh orang yang boleh bersyukur. Tak perlu takut berkata cukup.

Mengucapkan perkataan cukup bukan bererti kita berhenti berusaha dan berkerja. “Cukup” jangan diertikan sebagai keadaan berpuas hati.

Mengucapkan perkataan cukup membuat kita melihat apa yang telah kita terima, bukan apa yang belum kita dapatkan. Jangan biarkan kerakusan manusia membuat kita sukar berperkataan cukup. Belajarlah mencukupkan diri dengan apa yang ada pada diri kita hari ini, maka kita akan menjadi manusia yang berbahagia.

Belajarlah untuk mengucapkan perkataan “Cukup” .

Mandikan Aku Bonda

Di bawah ini adalah salah satu contoh tragis. Sering kali orang tidak mensyukuri apa yang diMILIKInya sampai akhirnya... .

Rani, sebut saja begitu namanya. Kawan kuliah ini berotak cemerlang dan memiliki idealisme tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik, di bidang akademik maupun profesion yang akan diceburinya. ''Why not the best,'' katanya selalu, mengutip ucapan seorang mantan presiden Amerika.

Ketika Universiti menghantar mahasiswa untuk studi International Law di Universiteit Utrecht , Belanda, Rani termasuk salah satunya. Saya lebih memilih menyelesaikan pendidikan kedoktoran. Berikutnya, Rani mendapat pendamping yang ''selevel''; sama-sama berprestasi, meski berbeda profesion.

Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani dilantik sebagai staf diplomat, bertepatan dengan selesainya suami dia meraih PhD. Lengkaplah kebahagiaan mereka. Konon, nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah ''alif'' dan huruf terakhir ''ya'', jadilah nama yang enak didengar: Alifya. Saya tak sempat mengira, apa mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir.

Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila. Bak garuda, hampir setiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain.

Sebenarnya saya pernah bertanya, ''Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal? '' Dengan pantas Rani menjawab, ''Oh, saya sudah mengandaikan segala sesuatunya. Everything is OK!'' Ucapannya itu betul-betul ia buktikan. Layanan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter "mahal". Rani cuma mengawal jadual Alif melalui telefon. Alif membesar menjadi anak yang kelihatan lincah, cerdas dan mudah mengerti.

Nenek-neneknya selalu menonjolkan kebanggaan mereka kepada cucu yang amat dikasihi itu, tentang kehebatan ibu-bapanya. Tentang jawatan dan nama besar, tentang kekerapan menaiki pesawat, dan wan g yang banyak. ''Contohlah ayah-bonda Alif, kalau Alif besar nanti.'' Begitu selalu nenek Alif, ibu Rani, berpesan di akhir cerita sebelum tidurnya. Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik. Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya kembali menagih pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Sungguh anak kecil ini "memahami" orang tuanya. Buktinya, kata Rani, ia tak lagi merengek minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karaktor ibunya yang bukan perengek.

Meski kedua orangtuanya kerap pulang lewat, ia jarang sekali merungut.Bahkan, kata Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Rani menyapanya ''malaikat kecilku''.

Sungguh keluarga yang bahagia, fikir saya. Meskipun kedua orangtuanya super sibuk, Alif tetap membesar penuh cinta. Diam-diam, saya irihati pada keluarga ini. Suatu hari, sebelum Rani berangkat ke pejabat, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby sitter. "Alif ingin Bonda mandikan", ujarnya penuh harapan. Serba salah saja Rani, yang setiap detik waktunya sangat berharga, gusar. Ia menolek permintaan Alif sambil terus berdandan dan mempersiapkan keperluan pejabatnya. Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya.

Sesungguhnya, Alif mengerti dan menurut, meskipun wajahnya berkerut. Peristiwa ini berulang sampai hampir seminggu. ''Bonda, mandikan aku!'' kian lama suara Alif penuh tekanan. Lalu, Rani dan suaminya berfikir, mungkin itu kerana Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dipujuk-pujuk, akhirnya Alif dapat ditinggal juga.

Pada satu petang, saya dikejutkan oleh telefon Mien, si baby sitter. 'Puan doktor, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency." Dengan pantas, saya terus ke ICU. But it was too late. Allah swt sudah punya rencana lain. Alif, si malaikat kecil, telah dipanggil pulang oleh-Nya.

Rani, ketika diberi tahu tentang Alif, sedang meresmikan pejabat barunya. Ia sangat terperanjat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan putranya. Setelah seminggu Alif mula menuntut dimandikan, Rani memang menyimpan komitmen untuk suatu masa memandikan anaknya sendiri.

Dan siang itu, janji Rani terkabul, meskipun setelah tubuh si kecil terbaring kaku. ''Ini Bonda Lif, Bonda mandikan Alif,'' ucapnya lemah, di tengah-tangah jamaah yang sunyi. Satu persatu rakan Rani menjauhi dari sisinya, berusaha menyembunyikan tangisan.

Ketika tanah merah telah menutup jasad si kecil, kami masih berdiri di sisi pusara. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu, berkata, ''Ini sudah takdir, ya kan . Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah masanya, ia dia pergi juga kan ?" Saya diam saja.

Rasanya Rani memang tak memerlukan hiburan dari orang lain. Suaminya tegak seperti tak bernyawa. Wajahnya pucat, pandangannya kosong. "Ini konsekuensi dari sebuah pilihan," ujar Rani, tetap mencuba tegar dan kuat. Hening seketika. Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja.

Tiba-tiba Rani berlutut. "Aku ibunyaaa!" teriaknya seperti histeria, lalu meraung hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis, lebih-lebih lagi tangisan yang meledak. "Bangunlah Lif, Bonda mau mandikan Alif. Beri kesempatan Bonda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif.." Rani merintih merayu-hiba. Seketika kemudian, ia mencampakkan dirinya ke pusara dan tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Alif. Senja pun makin tua.

-- Nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak lagi dapat menolongnya. -- Hal yang nampaknya mudah sering kali menimbulkan sesal dan kehilangan yang amat sangat. -- Sering kali orang yang sibuk 'di luar', asik dengan dunianya dan ambition sendiri hingga mengabaikan orang-orang disampingnya yang disayanginya. Akan masih ada waktu 'nanti' buat mereka jadi abaikan saja dulu. -- Sering kali orang takabur dan merasa yakin bahawa pengertian dan kasih sayang yang diterimanya tidak akan hilang. Merasa mereka akan mengerti kerana mereka menyayanginya dan tetap akan ada. -- Pelajaran yang sangat menyedihkan.

Kisah Perangkap Tikus

Sepasang suami dan isteri petani pulang kerumah setelah berbelanja. Ketika mereka membuka barang belanjaan, seekor tikus memperhatikan gelagat sambil menggumam, “hmmm… makanan apa lagi yang dibawa mereka dari pasar agaknya?”
Ternyata, yang dibeli oleh petani hari itu adalah perangkap tikus. Sang tikus naik panik bukan kepalang.
Ia bergegas lari ke sarang dan bertempik, “Ada perangkap tikus di rumah! Di rumah sekarang ada perangkap tikus!!”
Ia pun mengadu kepada ayam dan berteriak, “Ada perangkat tikus!” Sang Ayam berkata, ” Tuan Tikus, Aku turut bersedih tapi ia tak ada kena-mengena dengan aku.”
Sang Tikus lalu pergi menemui seekor kambing sambil berteriak seperti tadi. Sang Kambing pun jawab selamba, “aku pun turut bersimpati, tapi tidak ada yang boleh aku buat. Lagi pun tak tak ada kena-mengena dengan aku.”
Tikus lalu menemui lembu. Ia mendapat jawapan sama. “Maafkan aku. Tapi perangkap tikus tidak berbahaya buat aku sama sekali. Takkanlah sebesar aku ni boleh masuk perangkap tikus?”
Dengan rasa kecewa ia pun berlari ke hutan menemui ular. Sang ular berkata, “Eleh engkau ni. Perangkap tikus yang sekecil itu takkanlah nak membahayakan aku.”
Akhirnya Sang Tikus kembali ke rumah dengan pasrah kerana mengetahui ia akan menghadapi bahaya seorang diri. Suatu malam, pemilik rumah terbangun mendengar suara berdetak perangkap tikusnya berbunyi menandakan umpan dah mengena. Ketika melihat perangkap tikusnya, ternyata seekor ular berbisa yang jadi mangsa. Buntut ular yang terperangkap membuatkan ular itu semakin ganas dan menyerang isteri pemilik rumah.
Walaupun si Suami sempat membunuh ular berbisa tersebut, isterinya tidak sempat diselamatkan. Si suami pun membawa isterinya ke klinik berhampiran. Beberapa hari kemudian isterinya sudah boleh pulang namun tetap sahaja demam.
Isterinya lalu minta dibuatkan sup kaki ayam oleh suaminya kerana percaya sup kaki ayam boleh mengurangkan demam. Tanpa berfikir panjang si Suami pun dengan segera menyembelih ayamnya untuk dapatkan kaki buat sup.
Beberapa hari kemudian sakitnya tidak kunjung reda. Seorang teman menyarankan untuk makan hati kambing. Ia lalu menyembelih kambingnya untuk mengambil hatinya. Masih juga isterinya tidak sembuh-sembuh dan akhirnya meninggal dunia. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Banyak sungguh orang datang melawat jenazahnya. Kerana rasa sayang suami pada isterinya, tak sampai hati pula dia melihat orang ramai tak dijamu apa-apa. Tanpa berfikir panjang dia pun menyembelih lembunya untuk memberi makan orang-orang yang berziarah.
Dari kejauhan, Sang Tikus menatap dengan penuh kesedihan. Beberapa hari kemudian ia melihat perangkap tikus tersebut sudah tidak digunakan lagi.
Begitulah kisahnya. Jadi pengajarannya, jika suatu hari, anda mendengar seseorang dalam kesusahan dan anda pula mengira itu bukan urusan anda, fikirkanlah sekali lagi.

Kisah Dakwah Si Anak Kecil

Pada setiap Jumaat, selepas selesai menunaikan solat Jumaat, seorang Imam dan anaknya yang berumur 7 tahun akan berjalan menyusuri jalan di kota itu dan menyebarkan risalah dakwah bertajuk “Jalan-jalan Syurga” dan beberapa karya Islamik yang lain.
Pada satu Jumaat yang indah, pada ketika Imam dan anaknya itu hendak keluar seperti biasa meghulurkan risalah-risalah Islam itu, hari itu menjadi amat dingin dan hujan mulai turun.

Anak kecil itu mula membetulkan jubahnya seraya berkata “Ayah! Saya dah bersedia”

Ayahnya terkejut dan berkata “Bersedia untuk apa?”.
“Ayah bukankah ini masanya kita akan keluar menyampaikan risalah Allah”
“Anakku! Bukankah sejuk keadaan di luar tu dan hujan juga agak lebat”
“Ayah bukankah masih ada manusia yang akan masuk neraka walaupun ketika hujan turun”
Ayahnya menambah “Ayah tidak bersedia hendak keluar dalam keadaan cuaca sebegini”
Dengan merintih anaknya merayu “Kalau begitu, benarkan saya pergi ayah?”
Ayahnya berasa agak ragu-ragu namun menyerahkan risalah-risalah itu kepada anaknya.
“Pergilah nak dan berhati-hatilah. Allah bersama-sama kamu!”
“Terima kasih Ayah” Dengan wajah bersinar-sinar anaknya itu pergi meredah hujan dan susuk tubuh kecil itu hilang dalam kelebatan hujan itu.
Anak kecil itu pun menyerahkan risalah-risalah tersebut kepada sesiapa pun yang dijumpainya. Begitu juga dia akan mengetuk setiap rumah dan memberikan risalah itu kepada penghuninya.
Setelah dua jam, hanya tinggal satu saja risalah “Jalan-jalan Syurga” ada pada tangannya. Dia berasakan tanggungjawabnya tidak akan selesai jika masih ada risalah di tangannya. Dia berpusing-pusing ke sana dan ke mari mencari siapa yang akan diserahkan risalah terakhirnya itu, namun gagal.
Akhirnya dia ternampak satu rumah yang agak terperosok di jalan itu dan mula mengatur langkah menghampiri rumah itu. Apabila sampai sahaja anak itu di rumah itu, lantas ditekannya loceng rumah itu sekali.
Ditunggunya sebentar dan ditekan sekali lagi namun tiada jawapan.
Diketuk pula pintu itu namun sekali lagi tiada jawapan. Ada sesuatu yang memegangnya daripada pergi, mungkin rumah inilah harapannya agar risalah ini diserahkan.
Dia mengambil keputusan menekan loceng sekali lagi. Dan akhirnya pintu rumah itu dibuka.
Berdiri di depan pintu adalah seorang perempuan dalam lingkungan 50an.
Mukanya suram dan sedih.
“Nak, apa yang makcik boleh bantu?”
Wajahnya bersinar-sinar seolah-olah malaikat yang turun dari langit.
“Makcik, maaf saya mengganggu, saya hanya ingin menyatakan yang ALLAH amat sayangkan makcik dan sentiasa memelihara makcik. Saya datang ini hanya hendak menyerahkan risalah akhir ini dan makcik adalah orang yang paling bertuah”. Dia senyum dan tunduk hormat sebelum melangkah pergi.

“Terima kasih nak dan Tuhan akan melindungi kamu.” kata makcik itu dalam nada yang penuh lembut.

Minggu berikutnya sebelum khutbah solat Jumaat bermula, seperti biasa Imam memberikan sedikit tazkirah.
Sebelum selesai tazkirahnya dia bertanya “Ada sesiapa nak bertanya atau menyatakan sesuatu.”

Tiba-tiba sekujur tubuh bangun dengan perlahan dan berdiri. Dia adalah
perempuan separuh umur itu.

“Saya rasa tiada sesiapa dalam perhimpunan ini yang kenal saya. Saya tak pernah hadir ke majlis ini walaupun sekali. Untuk pengetahuan anda, sebelum Jumaat minggu lepas saya bukan seorang Muslim. Suami saya meninggal beberapa tahun lepas dan meninggalkan saya keseorangan
dalam dunia ini”. Air mata mulai bergenang di kelopak matanya.
“Pada Jumaat minggu lepas saya mengambil keputusan untuk membunuh diri. Jadi saya ambil kerusi dan tali. Saya letakkan kerusi di atas tangga menghadap anak tangga menuruni. Saya ikat hujung tali di galang atas dan hujung satu lagi diketatkan di leher.
Apabila tiba saat saya untuk terjun, tiba-tiba loceng rumah saya berbunyi. Saya tunggu sebentar, pada anggapan saya, siapa pun yang menekan itu akan pergi jika tidak dijawab. Kemudian ia berbunyi lagi. Kemudian saya mendengar ketukan dan loceng ditekan sekali lagi”.
“Saya bertanya sekali lagi. Belum pernah pun ada orang yang tekan loceng ini setelah sekian lama. Lantas saya melonggarkan tali di leher dan terus pergi ke pintu”
“Seumur hidup saya belum pernah saya melihat anak yang comel itu. Senyumannya benar-benar ikhlas dan suaranya seperti malaikat”.
“Makcik, maaf saya mengganggu, saya hanya ingin menyatakan yang ALLAH amat sayangkan makcik dan sentiasa memelihara makcik” itulah kata-kata yang paling indah yang saya dengar”.
“Saya melihatnya pergi kembali menyusuri hujan. Saya kemudian menutup pintu dan terus baca risalah itu setiap muka surat. Akhirnya kerusi dan tali yang hampir-hampir menyentap nyawa saya diletakkan semula ditempat asal mereka…..Aku tak perlukan itu lagi”.
“Lihatlah, sekarang saya sudah menjadi seorang yang bahagia, yang menjadi hamba kepada Tuhan yang satu, ALLAH Maha Esa.
Di belakang risalah terdapat alamat ini dan itulah sebabnya saya di sini hari ini. Jika tidak disebabkan malaikat kecil yang datang pada hari itu tentunya roh saya ini akan berada selama-lamanya di dalam neraka”

Semua para jemaah mengalirkan air mata. Mereka mengucap syukur pada Allah. Ramai juga yang bertakbir, ALLAHUAKBAR!
Imam lantas meluru menuju ke arah anaknya dan terus memeluk anaknya yang berada di bahagian saf hadapan dan menangis sesungguh-sungguh hatinya.
Jumaat ini dikira Jumaat yang paling indah dalam hidupnya. Tiada anugerah yang amat besar dari apa yang dia ada pada hari ini. Iaitu anugerah yang sekarang berada di dalam pelukannya. Seorang anak yang seumpama malaikat.

Monday, October 17, 2011

Batu besar dan batu kecil...

Satu hari seorang pensyarah sedang memberi kuliah tentang pengurusan masa kepada mahasiswa. Dengan penuh semangat ia berdiri depan kelas dan berkata. “Okay. Sekarang masa untuk quiz.” Kemudian ia mengeluarkan sebuah baldi yang kosong dan meletakkannya di meja. Kemudian ia mengisi baldi tersebut dengan batu-batu yang besar.

Dia terus mengisi batu sehingga tidak ada lagi batu yang muat untuk dimasukkan ke dalam baldi, dia bertanya pada kelas, “Menurut anda, adakah baldi ini sudah penuh?” Semua pelajar serentak berkata, “Ya!”


Cikgu bertanya kembali. “Betulkah”? “Kemudian dari dalam meja ia mengeluarkan sebekas batu kerikil kecil, lalu menuangkan kerikil-kerikil itu ke dalam baldi lalu menggoncang-goncang baldi itu sehingga batu kerikil itu turun ke bawah mengisi celah-celah kosong di antara batu-batu besar.

Kemudian, sekali lagi ia bertanya pada kelas, “Ok, adakah sekarang baldi ni dah penuh?” Kali ini para pelajar terdiam. Seseorang menjawab, “Mungkin tidak.” “Bagus..” sahut pensyarah.

Kemudian dia mengeluarkan sekantung pasir dan menuangkannya ke dalam baldi. Pasir itu jatuh mengisi di celah-celah ruang kosong antara batu dan kerikil. Sekali lagi, ia bertanya pada kelas,
“Baiklah, sekarang baldi ini sudah penuh?”

“Belum!” jawab seluruh kelas.

Sekali lagi dia berkata, “Bagus…” Kemudian dia mengeluarkan sebotol air dan mulai menuangkan airnya ke dalam baldi sampai ke penuh.

Ok sekarang lihat eksperimen kedua saya,dia pun memasukkan air terlebih dahulu sehingga , kemudian meletakkan sekantung pasir dan batu kerikil. Baldi itu kelihatan sudah penuh sehingga dia hanya dapat meletakkan sedikit sahaja batu-batu besar. Banyak lagi batu besar tidak dapat dimasukkan ke dalam baldi. Dia cuba menyumbat dan menggoncang baldi tetapi masih ada banyak lagi baki batu besar yang tidak boleh dimasukkan.

Lalu dia berpusing ke kelas dan bertanya, ‘Tahukah anda apa maksud illustrasi ini?”

Kenyataan dari batu dan baldi ini mengajarkan pada kita bahawa:

Bila anda tidak memasukkan “batu besar” terlebih dahulu, maka anda tidak akan boleh memasukkan semuanya.”

Apa yang dimaksudkan dengan “batu besar” dalam hidup anda? keluarga anda, pelajaran anda,ibadat anda, pekerjaan anda dan perkara yang penting dalam hidup anda seperti kesihatan anda, kawan-kawan anda dan yang seharusnya dijadikan prioriti utama dalam hidup anda.

Ingatlah supaya memasukkan “Batu Besar” dahulu sebelum batu-batu kecil atau anda akan kehilangan semuanya. Bila anda mengisinya dengan perkara-perkara kecil (seperti kerikil dan pasir) maka hidup anda akan penuh dengan perkara-perkara kecil yang merisaukan dan ini sepatutnya tidak perlu seperti bermain games,facebook, melepak dan sebagainya sehingga masa anda terbuang begitu sahaja sehari sedangkan anda tidak memenuhkan ‘baldi’ anda dengan batu besar.

Kerana dengan demikian anda tidak akan pernah memiliki masa yang cukup untuk perkara-perkara yang besar dan penting.

Oleh kerana itu, setiap pagi atau malam, ketika akan merenungkan cerita pendek ini, tanyalah pada diri anda sendiri: “Apakah batu besar-batu besar dalam hidup saya?” dan buatlah perkara itu dahulu

Mana mak ?

Jam 6.30 petang.

Mak berdiri di depan pintu. Wajah Mak kelihatan resah. Mak tunggu adik bongsu balik dari sekolah agama.

Ayah baru balik dari sawah.

Ayah tanya Mak, “Along mana?’

Mak jawab, “ Ada di dapur tolong siapkan makan.”

Ayah tanya Mak lagi,” Angah mana?”

Mak jawab, “Angah mandi, baru balik main bola.”

Ayah tanya Mak, “Ateh mana?”

Mak jawab, “Ateh, Kak Cik tengok tv dengan Alang di dalam?”

Ayah tanya lagi, “Adik dah balik?”

Mak jawab, “Belum. Patutnya dah balik. Basikal adik rosak kot. Kejap lagi kalau tak balik juga jom kita pergi cari Adik.”

Mak jawab soalan ayah penuh yakin. Tiap-tiap hari ayah tanya soalan yang sama. Mak jawab penuh perhatian. Mak ambil berat di mana anak-anak Mak dan bagaimana keadaan anak-anak Mak setiap masa dan setiap ketika.

Dua puluh tahun kemudian,

Jam 6.30 petang

Ayah balik ke rumah. Baju ayah basah. Hujan turun sejak tengahari.

Ayah tanya Along, “Mana Mak?”

Along sedang membelek-belek baju barunya. Along jawab, “Tak tahu.”

Ayah tanya Angah, “Mana Mak?”

Angah menonton tv. Angah jawab, “Mana Angah tahu.”

Ayah tanya Ateh, “Mana Mak?”

Ayah menunggu lama jawapan dari Ateh yang asyik membaca majalah.

Ayah tanya Ateh lagi, "Mana Mak?"

Ateh menjawab, “Entah.”

Ateh terus membaca majalah tanpa menoleh kepada Ayah.

Ayah tanya Alang, “Mana Mak?”

Alang tidak jawab. Alang hanya mengoncang bahu tanda tidak tahu.

Ayah tidak mahu tanya Kak Cik dan Adik yang sedang melayan facebook. Ayah tahu yang Ayah tidak akan dapat jawapan yang ayah mahu.

Tidak ada siapa tahu di mana Mak. Tidak ada siapa merasa ingin tahu di mana Mak. Mata dan hati anak-anak Mak tidak pada Mak. Hanya mata dan hati Ayah yang mencari-cari di mana Mak.

Tidak ada anak-anak Mak yang tahu setiap kali ayah bertanya, "Mana Mak?"

Tiba-tiba adik bungsu bersuara, “Mak ni dah senja-senja pun merayap lagi. Tak reti nak balik!!”

Tersentap hati Ayah mendengar kata-kata Adik.

Dulu anak-anak Mak akan berlari mendakap Mak apabila balik dari sekolah. Mereka akan tanya "Mana Mak?" apabila Mak tidak menunggu mereka di depan pintu.

Mereka akan tanya, "Mana Mak." Apabila dapat nomor 1 atau kaki melecet main bola di padang sekolah. Mak resah apabila anak-anak Mak lambat balik. Mak mahu tahu di mana semua anak-anaknya berada setiap waktu dan setiap ketika.

Sekarang anak-anak sudah besar. Sudah lama anak-anak Mak tidak bertanya 'Mana Mak?"

Semakin anak-anak Mak besar, soalan "Mana Mak?" semakin hilang dari bibir anak-anak Mak .

Ayah berdiri di depan pintu menunggu Mak. Ayah resah menunggu Mak kerana sudah senja sebegini Mak masih belum balik. Ayah risau kerana sejak akhir-akhir ini Mak selalu mengadu sakit lutut.

Dari jauh kelihatan sosok Mak berjalan memakai payung yang sudah uzur. Besi-besi payung tercacak keluar dari kainnya. Hujan masih belum berhenti. Mak menjinjit dua bungkusan plastik. Sudah kebiasaan bagi Mak, Mak akan bawa sesuatu untuk anak-anak Mak apabila pulang dari berjalan.

Sampai di halaman rumah Mak berhenti di depan deretan kereta anak-anak Mak. Mak buangkan daun-daun yang mengotori kereta anak-anak Mak. Mak usap bahagian depan kereta Ateh perlahan-lahan. Mak rasakan seperti mengusap kepala Ateh waktu Ateh kecil. Mak senyum. Kedua bibir Mak diketap repat. Senyum tertahan, hanya Ayah yang faham. Sekarang Mak tidak dapat lagi merasa mengusap kepala anak-anak seperti masa anak-anak Mak kecil dulu. Mereka sudah besar. Mak takut anak Mak akan menepis tangan Mak kalau Mak lakukannya.

Lima buah kereta milik anak-anak Mak berdiri megah. Kereta Ateh paling gah. Mak tidak tahu pun apa kehebatan kereta Ateh itu. Mak cuma suka warnanya. Kereta warna merah bata, warna kesukaan Mak. Mak belum merasa naik kereta anak Mak yang ini.

Baju mak basah kena hujan. Ayah tutupkan payung mak. Mak bagi salam. Salam Mak tidak berjawab. Terketar-ketar lutut Mak melangkah anak tangga. Ayah pimpin Mak masuk ke rumah. Lutut Mak sakit lagi.

Mak letakkan bungkusan di atas meja. Sebungkus rebung dan sebungkus kueh koci pemberian Mak Uda untuk anak-anak Mak. Mak Uda tahu anak-anak Mak suka makan kueh koci dan Mak malu untuk meminta untuk bawa balik. Namun raut wajah Mak sudah cukup membuat Mak Uda faham.

Semasa menerima bungkusan kueh koci dari Mak Uda tadi, Mak sempat berkata kepada Mak Uda, "Wah berebutlah budak-budak tu nanti nampak kueh koci kamu ni."

Sekurang-kurangnya itulah bayangan Mak. Mak bayangkan anak-anak Mak sedang gembira menikmati kueh koci sebagimana masa anak-anak Mak kecil dulu. Mereka berebut dan Mak jadi hakim pembuat keputusan muktamat. Sering kali Mak akan beri bahagian Mak supaya anak-anak Mak puas makan. Bayangan itu sering singgah di kepala Mak.

Ayah suruh Mak tukar baju yang basah itu. Mak akur.

Selepas Mak tukar baju, Ayah iring Mak ke dapur. Mak ajak anak-anak Mak makan kueh koci. Tidak seorang pun yang menoleh kepada Mak. Mata dan hati anak-anak Mak sudah bukan pada Mak lagi.

Mak hanya tunduk, akur dengan keadaan.

Ayah tahu Mak sudah tidak boleh mengharapkan anak-anak melompat-lompat gembira dan berlari mendakapnya seperti dulu.

Ayah temankan Mak makan. Mak menyuap nasi perlahan-lahan, masih mengharapkan anak-anak Mak akan makan bersama. Setiap hari Mak berharap begitu. Hanya Ayah yang duduk bersama Mak di meja makan setiap malam.

Ayah tahu Mak penat sebab berjalan jauh. Siang tadi Mak pergi ke rumah Mak Uda di kampung seberang untuk mencari rebung. Mak hendak masak rebung masak lemak cili api dengan ikan masin kesukaan anak-anak Mak.

Ayah tanya Mak kenapa Mak tidak telepon suruh anak-anak jemput. Mak jawab, "Saya dah suruh Uda telepon budak-budak ni tadi. Tapi Uda kata semua tak berangkat."

Mak minta Mak Uda telepon anak-anak yang Mak tidak boleh berjalan balik sebab hujan. Lutut Mak akan sakit kalau sejuk. Ada sedikit harapan di hati Mak agar salah seorang anak Mak akan menjemput Mak dengan kereta. Mak teringin kalau Ateh yang datang menjemput Mak dengan kereta barunya. Tidak ada siapa yang datang jemput Mak.

Mak tahu anak-anak mak tidak sedar telepon berbunyi. Mak ingat kata-kata ayah , “Kita tak usah susahkan anak-anak. Selagi kita mampu kita buat saja sendiri apa-apa pun. Mereka ada kehidupan masing-masing. Tak payah sedih-sedih. Maafkan sajalah anak-anak kita. Tak apalah kalau tak merasa menaiki kereta mereka sekarang. Nanti kalau kita mati kita masih ada peluang merasa anak-anak mengangkat kita kat bahu mereka.”

Mak faham buah hati Mak semua sudah besar. Along dan Angah sudah beristeri. Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik masing-masing sudah punya buah hati sendiri yang sudah mengambil tempat Mak di hati anak-anak Mak.

Pada suapan terakhir, setitik air mata Mak jatuh ke pinggan.

Kueh koci masih belum diusik oleh anak-anak Mak.

Beberapa tahun kemudian

Mak Uda tanya Along, Angah, Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik, “Mana mak?”.

Hanya Adik yang jawab, “Mak dah tak ada.”

Along, Angah, Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik tidak sempat melihat Mak waktu Mak sakit.

Kini Mak sudah berada di sisi Tuhannya bukan di sisi anak-anak Mak lagi.

Dalam isakan tangis, Along, Angah, Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik menerpa kubur Mak. Hanya batu nisan yang berdiri terpacak. Batu nisan Mak tidak boleh bersuara. Batu nisan tidak ada tangan macam tangan Mak yang selalu memeluk erat anak-anaknya apabila anak-anak datang menerpa Mak semasa anak-anak Mak kecil dulu.

Mak pergi semasa Along, Angah, Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik berada jauh di bandar. Kata Along, Angah, Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik mereka tidak dengar handphone berbunyi semasa ayah telepon untuk beritahu mak sakit tenat.

Mak faham, mata dan telinga anak-anak Mak adalah untuk orang lain bukan untuk Mak.

Hati anak-anak Mak bukan milik Mak lagi. Hanya hati Mak yang tidak pernah diberikan kepada sesiapa, hanya untuk anak-anak Mak..

Mak tidak sempat merasa diangkat di atas bahu anak-anak Mak. Hanya bahu ayah yang sempat mengangkat jenazah Mak dalam hujan renyai.

Ayah sedih sebab tiada lagi suara Mak yang akan menjawab soalan Ayah,

"Mana Along?" , "Mana Angah?", "Mana Ateh?", "Mana Alang?", "Mana Kak Cik?" atau "Mana Adik?". Hanya Mak saja yang rajin menjawab soalan ayah itu dan jawapan Mak memang tidak pernah silap. Mak sentiasa yakin dengan jawapannya sebab mak ambil tahu di mana anak-anaknya berada pada setiap waktu dan setiap ketika. Anak-anak Mak sentiasa di hati Mak tetapi hati anak-anak Mak ada orang lain yang mengisinya.

Ayah sedih. Di tepi kubur Mak, Ayah bermonolog sendiri, "Mulai hari ini tidak perlu bertanya lagi kepada Along, Angah, Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik , "Mana mak?" "

Kereta merah Ateh bergerak perlahan membawa Ayah pulang. Along, Angah, Alang dan Adik mengikut dari belakang. Hati ayah hancur teringat hajat Mak untuk naik kereta merah Ateh tidak kesampaian. Ayah terbayang kata-kata Mak malam itu, "Cantiknya kereta Ateh, kan Bang? Besok-besok Ateh bawalah kita jalan-jalan kat Kuala Lumpur tu. Saya akan buat kueh koci buat bekal."

"Ayah, ayah ....bangun." Suara Ateh memanggil ayah . Ayah pengsan sewaktu turun dari kereta Ateh..

Terketar-ketar ayah bersuara, "Mana Mak?"

Ayah tidak mampu berhenti menanya soalan itu. Sudah 10 tahun Mak pergi namun soalan "Mana Mak?" masih sering keluar dari mulut Ayah sehingga ke akhir usia.

Sebuah cerita pendek buat tatapan anak-anak yang kadang-kadang lupa perasaan ibu. Kata orang hidup seorang ibu waktu muda dilambung resah, apabila tua dilambung rasa. KataRasulullah saw. ibu 3 kali lebih utama dari ayah . Bayangkanlah berapa kali ibu lebih utama dari isteri, pekerjaan dan anak-anak sebenarnya. Solat sunat pun Allah suruh berhenti apabila ibu memanggil. Berapa kerapkah kita membiarkan deringan telefon panggilan dari ibu tanpa berjawab?

Ps: Ingat, kita cuma ada 1 sahaja ibu dan ayah di dunia ini. Jangan sampai apabila mereka sudah tiada, barulah kita hendak menangis.

Suatu Kisah Yang Sedih

20 tahun yang lalu saya melahirkan seorang bayi laki-laki, wajahnya comel tetapi nampak bodoh. Ali, suamiku memberinya nama Yusri. Semakin lama semakin nampak jelas bahawa anak ini sedikit terkebelakang. Saya berniat mahu memberikannya kepada orang lain sahaja supaya dijadikan budak atau pelayan bila besar nanti. Namun Ali mencegah niat buruk itu. Akhirnya terpaksa saya membesarkannya juga.Pada tahun kedua kelahiran Yusri, saya pun melahirkan pula seorang anak perempuan yang cantik. Saya menamakannya Yasmin. Saya sangat menyayangi Yasmin, begitu juga Ali. Seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan dan membelikan pakaian anak-anak yang indah-indah. Namun tidak demikian halnya dengan Yusri. Ia hanya memiliki beberapa helai pakaian lama. Ali berniat membelikannya, namun saya selalu melarang dengan alasan tiada wang. Ali terpaksa menuruti kata saya.

Saat usia Yasmin 2 tahun, Ali meninggal dunia. Yusri sudah berumur 4 tahun ketika itu. Keluarga kami menjadi semakin miskin dengan hutang yang semakin bertambah. Saya mengambil satu tindakan yang akhirnya membuatkan saya menyesal seumur hidup. Saya pergi meninggalkan kampung kelahiran saya bersama Yasmin. Saya tinggalkan Yusri yang sedang tertidur lelap begitu saja.

Setahun.., 2 tahun.., 5 tahun.., 10 tahun.. berlalu sejak kejadian itu. Saya menikah kembali dengan Kamal, seorang bujang. Usia pernikahan kami menginjak tahun kelima. Berkat Kamal, sifat-sifat buruk saya seperti pemarah, egois dan tinggi hati, berubah sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang. Yasmin sudah berumur 15 tahun dan kami menyekolahkan dia di sekolah jururawat. Saya tidak lagi ingat berkenaan Yusri dan tiada memori yang mengaitkan saya kepadanya. Hinggalah ke satu malam, malam di mana saya bermimpi mengenai seorang anak. Wajahnya segak namun kelihatan pucat sekali. Dia melihat ke arah saya. Sambil tersenyum dia berkata;

"Makcik, makcik kenal mama saya? Saya rindu sekali pada mama!"

Sesudah berkata demikian dia mulai pergi, namun saya menahannya.

"Tunggu..., saya rasa saya kenal kamu. Siapa namamu wahai anak yang manis?"

"Nama saya Yusri, makcik."

"Yusri...? Yusri... Ya Tuhan! Benarkah engkau ni Yusri???"

Saya terus tersentak dan terbangun. Rasa bersalah, sesal dan pelbagai perasaan aneh yang lain menerpa diri saya pada masa itu juga. Tiba-tiba terlintas kembali kisah yang terjadi dulu seperti sebuah filem yang ditayangkan kembali di kepala saya. Baru sekarang saya menyedari betapa jahatnya perbuatan saya dulu. Rasanya seperti mahu mati saja saat itu.

Ya, saya patut mati..., mati..., mati...!

Ketika tinggal seinci jarak pisau yang ingin saya goreskan ke pergelangan tangan, tiba-tiba bayangan Yusri melintas kembali di fikiran saya.

Ya Yusri, mama akan menjemputmu Yusri, tunggu ya sayang !

Petang itu saya membawa dan memarkir kereta Civic biru saya di samping sebuah pondok, dan ia membuatkan Kamal berasa hairan. Beliau menatap wajah saya dan bertanya;

"Hasnah, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa kita berada di sini?"

"Oh abang, abang pasti akan membenci saya selepas saya menceritakan hal yang saya lakukan dulu."

Aku terus menceritakan segalanya sambil teresak-esak. Ternyata Tuhan sungguh baik kepada saya. Ia memberikan suami yang begitu baik dan penuh pengertian. Selepas tangisan saya reda, saya keluar dari kereta dengan diikuti oleh Kamal dari belakang. Mata saya menatap lekat pada gubuk yang terbentang dua meter di hadapan saya. Saya mula teringat yang saya pernah tinggal dalam pondok itu dan saya tinggalkannya.

Yusri.. Yusri... Di manakah engkau, nak?

Saya meninggalkan Yusri di sana 10 tahun yang lalu. Dengan perasaan sedih saya berlari menghampiri pondok tersebut dan membuka pintu yang diperbuat daripada buluh itu.

Gelap sekali.

Tidak terlihat sesuatu apapun di dalamnya!

Perlahan-lahan mata saya mulai terbiasa dengan kegelapan di dalam ruangan kecil itu. Namun saya tidak menemui sesiapapun di dalamnya. Hanya ada sehelai kain buruk yang berlonggok di lantai tanah. Saya mengambil seraya mengamatinya dengan betul-betul. Mata mulai berkaca-kaca, saya mengenali potongan kain itu. Ini adalah baju buruk yang dulu dipakai oleh Yusri setiap hari.

Beberapa saat kemudian, dengan perasaan yang sangat sedih dan bersalah, sayapun keluar dari ruangan itu. Air mata saya mengalir dengan deras. Saat itu saya hanya diam saja. Sesaat kemudian saya dan Kamal mulai menaiki kereta untuk meninggalkan tempat tersebut. Namun, saya melihat seseorang berdiri di belakang kereta kami. Saya terkejut sebab suasana saat itu gelap sekali. Kemudian terlihatlah wajah orang itu yang sangat kotor. Ternyata ia seorang wanita tua. Saya terkejut lagi apabila dengan tiba-tiba dia menegur saya. Suaranya parau.

"Heii...! Siapa kamu?! Apa yang kamu mahu?!"

Dengan memberanikan diri, saya pun bertanya;

"Ibu, apakah ibu kenal dengan seorang anak bernama Yusri yang dulunya tinggal di sini?"

Dia menjawab;

"Kalau kamu ibunya, kamu adalah perempuan terkutuk!! Tahukah kamu, 10 tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini, Yusri terus menunggu ibunya dan memanggil;

'Mama, mama!'

"Kerana tidak tahan melihat keadaannya, kadang-kadang saya memberinya makan dan mengajaknya tinggal bersama saya. Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai pemungut sampah, namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu!"

"Tiga bulan yang lalu Yusri meninggalkan sehelai kertas ini. Ia belajar menulis setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu..."

Saya pun membaca tulisan di kertas itu...

"Mama, mengapa mama tidak pernah kembali lagi...? Mama marah pada Yusri, ya? Mama, biarlah Yusri yang pergi saja, tapi mama harus berjanji mama tidak akan marah lagi pada Yusri."


Saya menjerit histeria membaca surat itu.

"Tolong bagi tahu.. di mana dia sekarang? Saya berjanji akan menyayanginya sekarang! Saya tidak akan meninggalkannya lagi! Tolonglah cakap...!!!"

Kamal memeluk tubuh saya yang terketar-ketar dan lemah.

"Semua sudah terlambat. Sehari sebelum kamu datang, Yusri sudah meninggal dunia. Dia meninggal di belakang pondok ini. Tubuhnya sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi menunggumu ia rela bertahan di belakang pondok ini tanpa berani masuk ke dalamnya. Dia takut apabila mamanya datang, mamanya akan pergi lagi apabila melihatnya ada di dalam sana. Dia hanya berharap dapat melihat mamanya dari belakang pondok ini. Meskipun hujan deras, dengan keadaannya yang lemah ia terus berkeras menunggu kamu di sana . Dosa kamu tidak akan terampun!"

Ya Allah! Ampunkanlah dosaku! Yusri, ampunkan mama nak!

Sunday, May 8, 2011

Kisah si Penjual Tempe

Ada sebuah kampung di pedalaman Tanah Jawa. Di situ ada seorang perempuan tua yang sangat kuat beribadat. Pekerjaannya ialah membuat tempe dan menjualnya di pasar setiap hari. Ia merupakan satu-satunya sumber pendapatannya untuk menyara hidup. Tempe yang dijualnya merupakan tempe yang dibuatnya sendiri. Pada suatu pagi, seperti biasa, ketika beliau sedang bersiap-siap untuk pergi menjual tempenya, tiba-tiba dia tersedar yang tempenya yang diperbuat daripada kacang soya hari itu masih belum menjadi, separuh jadi. Kebiasaannya tempe beliau telah masak sebelum bertolak. Diperiksanya beberapa bungkusan yang lain.


Ternyatalah kesemuanya belum masak lagi. Perempuan tua itu berasa amat sedih sebab tempe yang masih belum menjadi pastinya tidak akan laku dan tiadalah rezekinya pada hari itu. Dalam suasana hatinya yang sedih, dia yang memang kuat beribadah teringat akan firman Allah yang menyatakan bahawa Allah dapat melakukan perkara-perkara ajaib, bahawa bagi-Nya tiada yang mustahil. Lalu dia pun mengangkat kedua tangannya sambil berdoa :

“Ya Allah , aku memohon kepadaMu agar kacang soya ini menjadi tempe. Amin”
Begitulah doa ringkas yang dipanjatkan dengan sepenuh hatinya. Dia sangat yakin bahawa Allah pasti mengabulkan doanya. Dengan tenang perempuan tua itu menekan-nekan bungkusan bakal tempe dengan hujung jarinya dan dia pun membuka sikit bungkusan itu untuk menyaksikan keajaiban kacang soya itu menjadi tempe.
Namun, dia termenung seketika sebab kacang tu masih tetap kacang soya. Namun dia tidak putus asa, sebaliknya berfikir mungkin doanya kurang jelas didengar oleh Allah. Maka dia pun mengangkat kedua tangannya semula dan berdoa lagi.

“Ya Allah, aku tahu bahawa tiada yang mustahil bagi-Mu. Bantu lah aku supaya hari ini aku dapat menjual tempe kerana inilah mata pencarianku. Aku mohon agar jadikanlah kacang soyaku ini kepada tempe, Amin”
Dengan penuh harapan dan debaran dia pun sekali lagi membuka sedikit bungkusan tu. Apakah yang terjadi? Dia termangu dan hairan apabila tempenya masih tetap begitu!! Sementara itu, hari pun semakin meninggi sudah tentu pasar sudah mula didatangi ramai orang. Dia tetap tidak kecewa atas doanya yang belum terkabul. Walaubagaimanapun kerana keyakinannya yang sangat tinggi dia bercadang untuk tetap pergi ke pasar membawa barang jualannya itu. Perempuan tua itu pun berserah pada Tuhan dan meneruskan pemergian ke pasar sambil berdoa dengan harapan apabila sampai di pasar kesemua tempenya akan masak. Dia berfikir mungkin keajaiban Allah akan terjadi semasa perjalanannya ke pasar. Sebelum keluar dari rumah, dia sempat mengangkat kedua tangannya untuk berdoa.
“Ya Allah, aku percaya, Engkau akan mengabulkan doaku. Sementara aku berjalan menuju ke pasar, Engkau kurniakanlah keajaiban ini buatku, jadikanlah tempe ini. Amin”. Lalu dia pun berangkat.
Di sepanjang perjalanan dia tetap tidak lupa membaca doa di dalam hatinya. Sesampai sahaja di pasar, segera dia meletakkan barang-barangnya. Hatinya betul-betul yakin yang tempenya sekarang mesti sudah menjadi. Dengan hati yg berdebar-debar dia pun membuka bakulnya dan menekan-nekan dengan jarinya setiap bungkusan tempe yang ada. Perlahan-lahan dia membuka sedikit daun pembungkusnya dan melihat isinya. Apa yang terjadi? Tempenya masih belum menjadi!! Dia pun kaget seketika lalu menarik nafas dalam-dalam. Dalam hatinya sudah mula merasa sedikit kecewa dan putus asa kepada Allah kerana doanya tidak dikabulkan. Dia berasakan Tuhan tidak adil. Tuhan tidak kasihan padanya, inilah satu-satunya punca rezekinya, hasil jualan tempe.
Dia akhirnya cuma duduk sahaja tanpa mempamerkan barang jualannya sebab dia berasakan bahawa tiada orang yang akan membeli tempe yang baru separuh menjadi. Sementara itu, hari pun semakin petang dan pasar sudah mulai sepi, para pembeli sudah mula kurang. Dia meninjau-ninjau kawan-kawan sesama penjual tempe, tempe mereka sudah hampir habis. Dia tertunduk lesu seperti tidak sanggup menghadapi kenyataan bahawa hari ini tiada hasil jualan yang boleh dibawa pulang. Namun jauh di sudut hatinya masih menaruh harapan terakhir kepada Allah, pasti Allah akan menolongnya. Walaupun dia tahu bahawa pada hari itu dia tidak akan dapat pendapatan langsung, namun dia tetap berdoa buat kali terakhir,
“Ya Allah,berikanlah penyelesaian terbaik terhadap tempeku yang belum menjadi ini.”
Tiba-tiba dia dikejutkan dengan teguran seorang wanita.
“Maaf ya, saya ingin bertanya, Makcik ada tak menjual tempe yang belum menjadi? Dari tadi saya sudah pusing keliling pasar ini untuk mencarinya tapi masih belum berjumpa lagi.”
Dia termenung dan terpinga-pinga seketika. Hatinya terkejut sebab sejak berpuluh tahun menjual tempe, tidak pernah seorang pun pelanggannya mencari tempe yang belum menjadi. Sebelum dia menjawab sapaan wanita di depannya itu, cepat-cepat dia berdoa di dalam hatinya
“Ya Allah, saat ini aku tidak mahu tempe ini menjadi lagi. Biarlah tempe ini seperti semula, Amin”.
Sebelum dia menjawab pertanyaan wanita itu, dia membuka sedikit daun penutup tempenya. Alangkah seronoknya dia, ternyata memang benar tempenya masih belum menjadi! Dia pun rasa gembira dalam hatinya dan bersyukur pada Allah. Wanita itu pun memborong habis kesemua tempenya yang belum menjadi itu. Sebelum wanita tu pergi, dia sempat bertanya wanita itu : “Mengapa hendak membeli tempe yang belum jadi?”
Wanita itu menerangkan bahawa anaknya yang kini berada di England teringin makan tempe dari desa. Memandangkan tempe itu akan dikirimkan ke England,si ibu tadi kenalah membeli tempe yang belum jadi lagi supaya apabila sampai di England nanti akan menjadi tempe yang sempurna. Kalau dikirimkan tempe yang sudah menjadi, nanti di sana tempe itu sudah tidak elok lagi dan rasanya pun kurang sedap. Perempuan tua itu pun kehairanan dan berfikir rupa-rupanya doanya sudah pun dimakbulkan oleh Tuhan…
 


Moral:

Pertama: Kita sering memaksakan kehendak kita kepada Tuhan sewaktu
berdoa, padahal sebenarnya Tuhan lebih mengetahui apa yang kita
perlukan dan apa yang terbaik untuk diri kita.

Kedua: Sentiasalah berdoa dalam menjalani kehidupan seharian kita
sebagai hambaNya yang lemah. Jangan sekali-kali berputus asa
terhadap apa yang dipinta. Percayalah bahawa Tuhan akan mengabulkan doa kita sesuai dengan rancanganNya yang mungkin di luar jangkaan kita.

Ketiga : Tiada yang mustahil bagi Tuhan

Keempat : Kita sering ingin Allah memenuhi hak kita sedang kita tidak
pernah mahu memenuhi hak Allah seperti menjaga SEMBAHYANG 5 WAKTU ,menyegerakan solat, berkata-kata perkara yang berfaedah dan berpesan ke arah kebaikan...oleh itu, hantarlah kepada sahabat yang lain agar
kebaikan boleh sama dikongsi. Mudah-mudahan Allah suka dengan apa
yang kita buat( ",)..

Sunday, March 20, 2011

Balas Budi Burung Bangau

Dahulu kala di suatu tempat di Jepang, hidup seorang pemuda bernama Yosaku. Kerjanya mengambil kayu bakar di gunung dan menjualnya ke kota. Uang hasil penjualan dibelikannya makanan. Terus seperti itu setiap harinya. Hingga pada suatu hari ketika ia berjalan pulang dari kota ia melihat sesuatu yang menggelepar di atas salju.

Setelah di dekatinya ternyata seekor burung bangau yang terjerat diperangkap sedang meronta-ronta. Yosaku segera melepaskan perangkat itu. Bangau itu sangat gembira, ia berputar-putar di atas kepala Yosaku beberapa kali sebelum terbang ke angkasa. Karena cuaca yang sangat dingin, sesampainya dirumah, Yosaku segera menyalakan tungku api dan menyiapkan makan malam. Saat itu terdengar suara ketukan pintu di luar rumah.

Ketika pintu dibuka, tampak seorang gadis yang cantik sedang berdiri di depan pintu. Kepalanya dipenuhi dengan salju. "Masuklah, nona pasti kedinginan, silahkan hangatkan badanmu dekat tungku," ujar Yosaku. "Nona mau pergi kemana sebenarnya ?", Tanya Yosaku. "Aku bermaksud mengunjungi temanku, tetapi karena salju turun dengan lebat, aku jadi tersesat." "Bolehkah aku menginap disini malam ini ?". "Boleh saja Nona, tapi aku ini orang miskin, tak punya kasur dan makanan." ,kata Yosaku. "Tidak apa-apa, aku hanya ingin diperbolehkan menginap". Kemudian gadis itu merapikan kamarnya dan memasak makanan yang enak.

Ketika terbangun keesokan harinya, gadis itu sudah menyiapkan nasi. Yosaku berpikir bahwa gadis itu akan segera pergi, ia merasa kesepian. Salju masih turun dengan lebatnya. "Tinggallah disini sampai salju reda." Setelah lima hari berlalu salju mereda. Gadis itu berkata kepada Yosaku, "Jadikan aku sebagai istrimu, dan biarkan aku tinggal terus di rumah ini." Yosaku merasa bahagia menerima permintaan itu. "Mulai hari ini panggillah aku Otsuru", ujar si gadis. Setelah menjadi Istri Yosaku, Otsuru mengerjakan pekerjaan rumah dengan sungguh-sungguh. Suatu hari, Otsuru meminta suaminya, Yosaku, membelikannya benang karena ia ingin menenun.

Otsuru mulai menenun. Ia berpesan kepada suaminya agar jangan sekali-kali mengintip ke dalam penyekat tempat Otsuru menenun. Setelah tiga hari berturut-turut menenun tanpa makan dan minum, Otsuru keluar. Kain tenunannya sudah selesai. "Ini tenunan ayanishiki. Kalau dibawa ke kota pasti akan terjual dengan harga mahal. Yosaku sangat senang karena kain tenunannya dibeli orang dengan harga yang cukup mahal.

Sebelum pulang ia membeli bermacam-macam barang untuk dibawa pulang. "Berkat kamu, aku mendapatkan uang sebanyak ini, terima kasih istriku. Tetapi sebenarnya para saudagar di kota menginginkan kain seperti itu lebih banyak lagi. "Baiklah akan aku buatkan", ujar Otsuru. Kain itu selesai pada hari keempat setelah Otsuru menenun. Tetapi tampak Otsuru tidak sehat, dan tubuhnya menjadi kurus. Otsuru meminta suaminya untuk tidak memintanya menenun lagi.

Di kota, Sang Saudagar minta dibuatkan kain satu lagi untuk Kimono tuan Putri. Jika tidak ada maka Yosaku akan dipenggal lehernya. Hal itu diceritakan Yosaku pada istrinya. "Baiklah akan ku buatkan lagi, tetapi hanya satu helai ya", kata Otsuru.

Karena cemas dengan kondisi istrinya yang makin lemah dan kurus setiap habis menenun, Yosaku berkeinginan melihat ke dalam ruangan tenun. Tetapi ia sangat terkejut ketika yang dilihatnya di dalam ruang menenun, ternyata seekor bangau sedang mencabuti bulunya untuk ditenun menjadi kain. Sehingga badan bangau itu hampir gundul kehabisan bulu. Bangau itu akhirnya sadar dirinya sedang diperhatikan oleh Yosaku, bangau itu pun berubah wujud kembali menjadi Otsuru. "Akhirnya kau melihatnya juga", ujar Otsuru.

"Sebenarnya aku adalah seekor bangau yang dahulu pernah Kau tolong", untuk membalas budi aku berubah wujud menjadi manusia dan melakukan hal ini," ujar Otsuru. "Berarti sudah saatnya aku berpisah denganmu", lanjut Otsuru. "Maafkan aku, ku mohon jangan pergi," kata Yosaku. Otsuru akhirnya berubah kembali menjadi seekor bangau. Kemudian ia segera mengepakkan sayapnya terabng keluar dari rumah ke angkasa. Tinggallah Yosaku sendiri yang menyesali perbuatannya.
(SELESAI)

http://www.dongengkakrico.com/dongeng/37-kumpulan-dongeng/58-balas-budi-burung-bangau.html

Aladin dan Lampu Ajaib

Dahulu kala, di kota Persia, seorang Ibu tinggal dengan anak laki-lakinya yang bernama Aladin. Suatu hari datanglah seorang laki-laki mendekati Aladin yang sedang bermain. Kemudian laki-laki itu mengakui Aladin sebagai keponakannya. Laki-laki itu mengajak Aladin pergi ke luar kota dengan seizin ibu Aladin untuk membantunya. Jalan yang ditempuh sangat jauh. Aladin mengeluh kecapaian kepada pamannya tetapi ia malah dibentak dan disuruh untuk mencari kayu bakar, kalau tidak mau Aladin akan dibunuhnya. Aladin akhirnya sadar bahwa laki-laki itu bukan pamannya melainkan seorang penyihir. Laki-laki penyihir itu kemudian menyalakan api dengan kayu bakar dan mulai mengucapkan mantera. "Kraak…" tiba-tiba tanah menjadi berlubang seperti gua.

Dalam lubang gua itu terdapat tangga sampai ke dasarnya. "Ayo turun! Ambilkan aku lampu antik di dasar gua itu", seru si penyihir. "Tidak, aku takut turun ke sana", jawab Aladin. Penyihir itu kemudian mengeluarkan sebentuk cincin dan memberikannya kepada Aladin. "Ini adalah cincin ajaib, cincin ini akan melindungimu", kata si penyihir. Akhirnya Aladin menuruni tangga itu dengan perasaan takut. Setelah sampai di dasar ia menemukan pohon-pohon berbuah permata. Setelah buah permata dan lampu yang ada di situ dibawanya, ia segera menaiki tangga kembali. Tetapi, pintu lubang sudah tertutup sebagian. "Cepat berikan lampunya !", seru penyihir. "Tidak ! Lampu ini akan kuberikan setelah aku keluar", jawab Aladin. Setelah berdebat, si penyihir menjadi tidak sabar dan akhirnya "Brak!" pintu lubang ditutup oleh si penyihir lalu meninggalkan Aladin terkurung di dalam lubang bawah tanah. Aladin menjadi sedih, dan duduk termenung. "Aku lapar, Aku ingin bertemu ibu, Tuhan, tolonglah aku !", ucap Aladin.

Aladin merapatkan kedua tangannya dan mengusap jari-jarinya. Tiba-tiba, sekelilingnya menjadi merah dan asap membumbung. Bersamaan dengan itu muncul seorang raksasa. Aladin sangat ketakutan. "Maafkan saya, karena telah mengejutkan Tuan", saya adalah jin cincin kata raksasa itu. "Oh, kalau begitu bawalah aku pulang kerumah." "Baik Tuan, naiklah belakangku, kita akan segera pergi dari sini", ujar jin cincin. Dalam waktu singkat, Aladin sudah sampai di depan rumahnya. "Kalau tuan memerlukan saya panggillah dengan menggosok cincin Tuan."

Aladin menceritakan semua hal yang di alaminya kepada ibunya. "Mengapa penyihir itu menginginkan lampu kotor ini ya ?", kata Ibu sambil menggosok membersihkan lampu itu. "Syut !" Tiba-tiba asap membumbung dan muncul seorang raksasa jin lampu. "Sebutkanlah perintah Nyonya", kata si jin lampu. Aladin yang sudah pernah mengalami hal seperti ini memberi perintah,"kami lapar, tolong siapkan makanan untuk kami". Dalam waktu singkat jin Lampu membawa makanan yang lazat-lazat kemudian menghidangkannya. "Jika ada yang diinginkan lagi, panggil saya dengan menggosok lampu itu", kata si jin lampu.

Demikian hari, bulan, tahunpun berganti, Aladin hidup bahagia dengan ibunya. Aladin sekarang sudah menjadi seorang pemuda. Suatu hari lalu seorang Putri Raja di depan rumahnya. Ia sangat terpesona dan jatuh cinta kepada Putri Cantik itu. Aladin lalu menceritakan keinginannya kepada ibunya untuk memperistri putri raja. "Tenang Aladin, Ibu akan mengusahakannya". Ibu pergi ke istana raja dengan membawa permata-permata kepunyaan Aladin. "Baginda, ini adalah hadiah untuk Baginda dari anak laki-lakiku." Raja amat senang. "Wah..., anakmu pasti seorang pangeran yang tampan, besok aku akan datang ke Istana kalian dengan membawa serta puteriku".

Setelah tiba di rumah Ibu segera menggosok lampu dan meminta jin lampu untuk membawakan sebuah istana. Aladin dan ibunya menunggu di atas bukit. Tak lama kemudian jin lampu datang dengan Istana megah di punggungnya. "Tuan, ini Istananya". Esok hari sang Raja dan putrinya datang berkunjung ke Istana Aladin yang sangat megah. "Maukah engkau menjadikan anakku sebagai isterimu ?", Tanya sang Raja. Aladin sangat gembira mendengarnya. Lalu mereka berdua melaksanakan pesta pernikahan.

Nun jauh disana, si penyihir ternyata melihat semua kejadian itu melalui bola kristalnya. Ia lalu pergi ke tempat Aladin dan pura-pura menjadi seorang penjual lampu di depan Istana Aladin. Ia berteriak-teriak, "tukarkan lampu lama anda dengan lampu baru !". Sang permaisuri yang melihat lampu ajaib Aladin yang usang segera keluar dan menukarkannya dengan lampu baru. Segera si penyihir menggosok lampu itu dan memerintahkan jin lampu memboyong istana beserta isinya dan istri Aladin ke rumahnya.

Ketika Aladin pulang dari berkeliling, ia sangat terkejut. Lalu memanggil jin cincin dan bertanya kepadanya apa yang telah terjadi. "Kalau begitu tolong kembalikan lagi semuanya kepadaku", seru Aladin. "Maaf Tuan, tenaga saya tidaklah sebesar jin lampu," ujar jin cincin. "Baik kalau begitu aku yang akan mengambilnya. Tolong Antarkan kau kesana", seru Aladin. Sesampainya di Istana, Aladin menyelinap masuk mencari kamar tempat sang Putri dikurung. "Penyihir itu sedang tidur karena kebanyakan minum arak", ujar sang Puteri. "Baik, jangan bimbang aku akan mengambil kembali lampu ajaib itu, kita nanti akan menang", jawab Aladin.

Aladin mengendap mendekati penyihir yang sedang tidur. Ternyata lampu ajaib menyembul dari poketnya. Aladin kemudian mengambilnya dan segera menggosoknya. "Singkirkan penjahat ini", seru Aladin kepada jin lampu. Penyihir terbangun, lalu menyerang Aladin. Tetapi jin lampu langsung membanting penyihir itu hingga tewas. "Terima kasih jin lampu, bawalah kami dan Istana ini kembali ke Persia". Sesampainya di Persia Aladin hidup bahagia. Ia mempergunakan sihir dari jin lampu untuk membantu orang-orang miskin dan kesusahan.
(SELESAI)

Telah diubahsuai berdasarkan laman ini : http://www.dongengkakrico.com/dongeng/37-kumpulan-dongeng/55-aladin-dan-lampu-ajaib.html

Saturday, March 19, 2011

Batu Menangis


PDFPrintE-mail
Legenda Rakyat Kalimantan.
Darmi memandangi wajahnya lewat cermin yang tergantung di dinding kamarnya.
“Ah aku memang jelita,” katanya. “Lebih pantas bagiku untuk tinggal di istana raja daripada di gubuk reot seperti ini.”
Matanya memandang ke sekeliling ruangan. Hanya selembar kasur yang tidak empuk tempat dia tidur yang mengisi ruangan itu. Tidak ada meja hias yang sangat dia dambakan. Bahkan lemari untuk pakaian pun hanya sebuah peti bekas. Darmi mengeluh dalam hati.
Darmi memang bukan anak orang kaya. Ibunya hanya seorang janda miskin. Untuk menghidupi mereka berdua, ibunya bekerja membanting tulang dari pagi hingga malam. Pekerjaan apapun dia lakukan. Mencari kayu bakar di hutan, menyabit rumput untuk pakan kambing tetangga, mencucikan baju orang lain, apapun dia kerjakan untuk bisa memperoleh upah. Sebaliknya Darmi adalah anak yang manja. Sedikit pun dia tidak iba melihat ibunya bekerja keras sepanjang hari. Bahkan dengan teganya dia memaksa ibunya untuk memberinya uang jika ada sesuatu yang ingin dibelinya.
“Ibu, ayo berikan uang padaku! Besok akan ada pesta di desa sebelah, aku harus pergi dengan memakai baju baru. Bajuku sudah usang semua,” katanya.
“Nak, kemarin kan kau baru beli baju baru. Pakailah yang itu saja. Lagipula uang ibu hanya cukup untuk makan kita dua hari. Nanti kalau kau pakai untuk membeli baju, kita tidak bisa makan nak!” kata ibunya mengiba.
“Alah itu kan urusan ibu buat cari uang lagi. Baju yang kemarin itu kan sudah aku pakai, malu dong pakai baju yang itu-itu lagi. Nanti apa kata orang! Sudahlah ayo berikan uangnya sekarang!” kata Darmi dengan kasar.
Terpaksa sang ibu memberikan uang yang diminta anaknya itu. Dia memang sangat sayang pada anak semata wayangnya itu.
Begitulah, hari demi hari sang ibu semakin tua dan menderita. Sementara Darmi yang dikaruniai wajah yang cantik semakin boros. Kerjaannya hanya menghabiskan uang untuk membeli baju-baju bagus, alat-alat kosmetik yang mahal dan pergi ke pesta-pesta untuk memamerkan kecantikannya.
Suatu hari Darmi meminta ibunya untuk membelikannya bedak di pasar. Tapi ibunya tidak tahu bedak apa yang dimaksud.
“Sebaiknya kau ikut saja ibu ke pasar, jadi kau bisa memilih sendiri,” kata ibunya.
“Ih, aku malu berjalan bersama ibu. Apa kata orang nanti. Darmi yang jelita berjalan dengan seorang nenek yang kumuh,” katanya sambil mencibir.
“Ya sudah kalau kau malu berjalan bersamaku. Ibu akan berjalan di belakangmu,” ujar ibunya dengan sedih.
“Baiklah, ibu janji ya! Selama perjalanan ibu tidak boleh berjalan di sampingku dan tidak boleh berbicara padaku!” katanya.
Ibunya hanya memandang anaknya dengan sedih lalu mengiyakan.
Akhirnya mereka pun berjalan beriringan. Sangat ganjil kelihatannya. Darmi terlihat sangat cantik dengan baju merah mudanya yang terlihat mahal dan dibelakangnya ibunya yang sudah bungkuk memakai baju lusuh yang penuh tambalan. Di tengah jalan Darmi bertemu dengan teman-temannya dari desa tetangga yang menyapanya.
“Hai Darmi, mau pergi kemana kau?” sapa mereka.
“Aku mau ke pasar,” jawab Darmi.
“Oh, siapa nenek yang di belakangmu itu? Ibumu?” tanya mereka.
“Oh bukan! Bukan!. Mana mungkin ibuku sejelek itu. Dia itu cuma pembantuku,” sahut Darmi cepat-cepat.
Betapa hancur hati ibunya mendengar anak kesayangannya tidak mau mengakuinya sebagai ibunya sendiri. Namun ditahannya rasa dukanya di dalam hati.
Kejadian itu berulang terus menerus sepanjang perjalanan mereka. Semakin lama hati si ibu semakin hancur. Akhirnya dia tidak tahan lagi menahan kesedihannya. Sambil bercucuran air mata dia menegur anaknya.
“Wahai anakku sebegitu malunyakah kau mengakui aku sebagai ibumu? Aku yang melahirkanmu ke dunia ini. Apakah ini balasanmu pada ibumu yang menyayangimu?”
Darmi menoleh dan berkata, “Hah aku tidak minta dilahirkan oleh ibu yang miskin sepertimu. Aku tidak pantas menjadi anak ibu. Lihatlah wajah ibu! Jelek, keriput dan lusuh! Ibu lebih pantas jadi pembantuku daripada jadi ibuku!”
Usai mengucapkan kata-kata kasar tersebut Darmi dengan angkuh kembali meneruskan langkahnya.
Ibunya Darmi sambil bercucuran air mata mengadukan dukanya kepada Tuhan. Wajahnya menengadah ke langit dan dari mulutnya keluarlah kutukan, “Oh Tuhanku! Hamba tidak sanggup lagi menahan rasa sedih di hatiku. Tolong hukumlah anak hamba yang durhaka. Berilah dia hukuman yang setimpal!”
Tiba-tiba langit berubah mendung dan kilat menyambar-nyambar diiringi guntur yang menggelegar. Darmi ketakutan dan hendak berlari ke arah ibunya. Namun dia merasa kakinya begitu berat. Ketika dia memandang ke bawah dilihatnya kakinya telah menjadi batu, lalu kini betisnya, pahanya dan terus naik ke atas. Darmi ketakutan, dia berteriak meminta pertolongan pada ibunya. Tapi ibunya hanya memandangnya dengan berderai air mata.
“Ibu, tolong Darmi bu! Maafkan Darmi. Aku menyesal telah melukai hati ibu. Maafkan aku bu! Tolong aku…” teriaknya. Ibu Darmi tidak tega melihat anaknya menjadi batu, tapi tidak ada yang bisa dilakukannya. Nasi sudah menjadi bubur. Kutukan yang terucap tidak bisa ditarik kembali. Akhirnya dia hanya bisa memeluk anaknya yang masih memohon ampun dan menangis hingga akhirnya suaranya hilang dan seluruh tubuhnya menjadi batu.
(SELESAI)

Tuesday, March 8, 2011

Pengajaran Dari Sebiji Tembikai

Pada suatu hari, seorang ahli sufi yang masyhur bernama Syaqiq Al-Balkhir telah membeli sebiji tembikai. Kemudian dia membawa tembikai itu pulang dan diberikan kepada isterinya. Apabila isterinya membelah tembikai itu untuk dimakan, ternyata buah tembikai itu tidak elok, maka marah-marahlah isteri Syaqiq dengan keadaan tersebut.

Maka bertanyalah Syaqiq kepada isterinya: "Kepada siapa engkau tujukan marahmu itu, adakah kepada penjual, pembeli, penanam atau Pencipta buah tembikai itu?." Terdiam isterinya mendengar pertanyaan tersebut. Kemudian Syaqiq teruskan lagi kata-katanya: "Adapun si penjual, sudah tentu mahu jualannya terdiri daripada barangan yang terbaik. Adapun si pembeli juga sudah tentu mahu membeli barang yang terbaik juga. Bahkan si penanam juga sudah tentu berharap hasil tanamannya yang terbaik juga. Maka ternyatalah marahmu ini engkau tujukan kepada Pencipta buah tembikai ini. Maka bertaqwalah engkau kepada Allah dan redhalah dengan segala ketentuan-Nya."

Maka menangislah isteri Syaqiq. Lalu bertaubat dan iapun redhalah dengan apa yang telah ditentukan oleh Allah SWT.


Source : http://jombelajarlagi.blogspot.com/

KISAH ANAK DENGAN POHON EPAL

Saya tertarik dengan suatu cerita teladan..Cerita panglipulara yang pernah saya dengar sewaktu kecil-kecil dahulu…

Kisah pohon epal..
“Suatu masa dahulu, terdapat sebatang pohon epal yang amat besar. Seorang kanak-kanak lelaki begitu gemar bermain-main di sekitar pohon epal ini setiap hari.Dia memanjat pohon tersebut, memetik serta memakan epal sepuas-puas hatinya, dan adakalanya dia beristirahat lalu terlelap di perdu pohon epal tersebut. Anak lelaki tersebut begitu menyayangi tempat permainannya. Pohon epal itu juga menyukai anak tersebut.

Masa berlalu…

Anak lelaki itu sudah besar dan menjadi seorang remaja. Dia tidak lagi menghabiskan masanya setiap hari bermain di sekitar pohon epal tersebut. Namun begitu, suatu hari dia datang kepada pohon apel tersebut dengan wajah yang sedih. “Marilah bermain-mainlah di sekitarku,” ajak pohon epal itu.” Aku bukan lagi kanak-kanak, aku tidak lagi gemar bermain dengan engkau,” jawab remaja itu.” Aku mahukan permainan. Aku perlukan wang untuk membelinya,” tambah remaja itu dengan nada yang sedih.Lalu pohon apel itu berkata, “

Kalau begitu, petiklah epal-epal yang ada padaku. Juallah untuk mendapatkan wang. Dengan itu, kau dapat membeli permainan yang kauinginkan.”
Remaja itu dengan gembiranya memetik semua epal dipohon itu dan pergi dari situ. Dia tidak kembali lagiselepas itu. Pohon epal itu merasa sedih. Masa berlalu…Suatu hari, remaja itu kembali. Dia semakin dewasa.

Pohon epal itu merasa gembira.”Marilah bermain-mainlah di sekitarku,” ajak pohon epal itu.”Aku tiada waktu untuk bermain. Aku terpaksa bekerja untuk mendapatkan wang. Aku ingin membina rumah sebagai tempat perlindungan untuk keluargaku. Bolehkah kau menolongku?” Tanya anak itu.”

Maafkan aku. Aku tidak mempunyai rumah. Tetapi kau boleh memotong dahan-dahanku yang besar ini dan kau buatlah rumah daripadanya.” Pohon epal itu memberikan cadangan.Lalu, remaja yang semakin dewasa itu memotong kesemua dahan pohon apel itu dan pergi dengan gembiranya. Pohon apel itu pun turut gembira tetapi kemudiannyamerasa sedih karena remaja itu tidak kembali lagiselepas itu.

Suatu hari yang panas, seorang lelaki datang menemui pohon apel itu. Dia sebenarnya adalah anak lelaki yangpernah bermain-main dengan pohon apel itu. Dia telah matang dan dewasa.”Marilah bermain-mainlah di sekitarku,” ajak pohon epal itu.” Maafkan aku, tetapi aku bukan lagi anak lelaki yangsuka bermain-main di sekitarmu. Aku sudah dewasa. Aku mempunyai cita-cita untuk belayar. Malangnya, aku tidak mempunyai boat. Bolehkah kau menolongku?” tanya lelaki itu.”

Aku tidak mempunyai boat untuk diberikan kepada kau. Tetapi kau boleh memotong batang pohon ini untukdijadikan boat. Kau akan dapat belayar dengangembira,” kata pohon apel itu.Lelaki itu merasa amat gembira dan menebang batangpohon apel itu. Dia kemudiannya pergi dari situ dengangembiranya dan tidak kembali lagi selepas itu. Namunbegitu, pada suatu hari, seorang lelaki yang semakindimamah usia, datang menuju pohon apel itu. Dia adalahanak lelaki yang pernah bermain di sekitar pohon apelitu.”

Maafkan aku. Aku tidak ada apa-apa lagi untukdiberikan kepada kau. Aku sudah memberikan buahkuuntuk kau jual, dahanku untuk kau buat rumah, batangkuuntuk kau buat boat. Aku hanya ada tunggul dengan akaryang hampir mati…” kata pohon apel itu dengan nadapilu.”
Aku tidak mahu apelmu kerana aku sudah tiada bergigiuntuk memakannya, aku tidak mahu dahanmu kerana akusudah tua untuk memotongnya, aku tidak mahu batangpohonmu kerana aku berupaya untuk belayar lagi, akumerasa lelah dan ingin istirahat,” jawab lelaki tuaitu.”

Jika begitu, istirahatlah di perduku,” kata pohonapel itu.Lalu lelaki tua itu duduk beristirahat di perdu pohon epal itu dan beristirahat. Mereka berdua menangiskegembiraan.
Tersebut.

Sebenarnya, pohon epal yang dimaksudkan didalam cerita itu adalah kedua-dua ibu bapa kita. Bilakita masih muda, kita suka bermain dengan mereka.Ketika kita meningkat remaja, kita perlukan bantuanmereka untuk meneruskan hidup. Kita tinggalkan mereka,dan hanya kembali meminta pertolongan apabila kita didalam kesusahan. Namun begitu, mereka tetap menolongkita dan melakukan apa saja asalkan kita bahagia dangembira dalam hidup.Anda mungkin terfikir bahwa anak lelaki itu bersikapkejam terhadap pohon apel itu, tetapi fikirkanlah, ituhakikatnya bagaimana kebanyakan anak-anak masa kinimelayan ibu bapa mereka. Hargailah jasa ibu bapakepada kita. Jangan hanya kita menghargai merekasemasa menyambut hari ibu dan hari bapa setiap tahun.”

http://hazis.wordpress.com/cerita-cerita-teladan/

SI-SOPAK, SI-BOTAK DAN SI-BUTA

Pada suatu hari Allah memerintahkan malaikat bertemu dengan tiga orang Bani Israil. Ketiga-tiga mereka cacat; seorang botak, seorang sopak dan seorang lagi buta. 
Malaikat yang menyamar seperti manusia itu bertanya si-sopak "Jika Allah hendak kurniakan sesuatu untuk kamu, apakah yang kamu mahu?" Si-sopak menjawab, "Saya mahu kulit saya sembuh seperti biasa dan diberi kekayaan yang banyak." Dengan takdir Allah, kulitnya kembali sembuh dan dikurniakan rezeki yang banyak. 
Kemudian malaikat bertanya si-botak soalan yang sama. Si-botak menjawab, "Saya mahu kepala saya berambut semula supaya kelihatan kacak dan diberikan harta yang banyak." Tiba-tiba, dengan kurnia Allah si-botak itu kembali berambut dan diberikan harta yang banyak. 
Selepas itu malaikat bertanya si-buta pertanyaan yang sama. Si-buta menjawab, "Saya hendak mata saya dicelikkan semula dan diberikan harta yang banyak." Dengan takdir Allah, mata si-buta menjadi celik dan dikurniakan kekayaan yang melimpah. 
Selang beberapa bulan, Allah memerintahkan semula malaikat untuk berjumpa dengan ketiga-tiga orang cacat itu. Kali ini malaikat menyamar sebagai peminta sedekah. Dia berjumpa dengan orang pertama yang dulunya sopak dan meminta sedikit wang. 'Si-sopak' itu tidak menghulurkan sebarang bantuan malah mengherdik malaikat. Malaikat berkata, "Saya rasa saya kenal kamu. Dulu kamu sopak..dan miskin. Allah telah menolong kamu." Si-sopak tidak mengaku. Dengan kuasa Allah, si-sopak yang sombong itu bertukar menjadi sopak semula dan bertukar menjadi miskin. 
Kemudian malaikat berjumpa dengan si-botak yang telah menjadi kaya dan berambut lebat. Apabila malaikat meminta bantuan, si-botak juga enggan membantu, malahan dia tidak mengaku bahawa dia dulu botak. Oleh sebab sombong dan tidak sedar diri, Allah menjadikan kepalanya botak semula dan bertukar menjadi miskin. 
Malaikat berjumpa dengan orang buta yang telah diberikan penglihatan. Apabila malaikat meminta bantuan, si-buta memberikan keseluruhan hartanya dan berkata, "Ini semua harta pemberiaan Allah. Ambillah kesemuanya. Mata saya yang kembali celik ini adalah lebih berharga daripada kesemua harta ini." Malaikat tidak mengambil pemberian itu. Dia memberitahu bahawa dia adalah malaikat yang pernah datang dulu. Kedatangannya kali ini ialah untuk menguji siapa di antara mereka bertiga yang bersyukur. 
Si-buta yang bersyukur itu terus dapat menikmati kekayaan dan penglihatannya. Manakala si-sopak dan si-botak kekal dengan keadaannya yang asal. 
 
 
MORAL & IKTIBAR 
  • Allah mengurniakan kesenangan dan keselesaan adalah sebagai ujian untuk melihat siapakah di antara mereka yang bersyukur
  • Manusia yang bersyukur Allah akan tambah kurniaan sebaliknya manusia yang kufur akan diazab oleh Allah
  • Manusia seringkali lupa daratan apabila diberikan kemewahan dan kesenangan
  • Sangat sedikit hamba Allah yang bersyukur
  • Siapa yang tidak bersyukur kepada manusia, dia tidak akan bersyukur kepada Allah
  • Allah memberi kurnia kepada sesiapa yang dikehendakiNya dan menarik nikmat daripada siapa sahaja yang dikehendakiNya
    Sifat syukur adalah satu sifat yang terpuji, sebaliknya kufur (kufur nikmat) adalah sifat yang dicela oleh Allah. 

UNTA MENJADI HAKIM

Pada zaman Rasulullah s.a.w, ada seorang Yahudi yang menuduh orang Muslim mencuri untanya. Maka dia datangkan empat orang saksi palsu dari golongan munafik. Nabi s.a.w lalu memutuskan hukum unta itu milik orang Yahudi dan memotong tangan Muslim itu sehingga orang Muslim itu kebingungan. Maka ia pun mengangkatkan kepalanya menengadah ke langit seraya berkata,"Tuhanku, Engkau Maha Mengetahui bahawa sesungguhnya aku tidak mencuri unta itu."

Selanjutnya orang Muslim itu berkata kepada Nabi s.a.w, "Wahai Rasulullah, sungguh keputusanmu itu adalah benar, akan tetapi mintalah keterangan dari unta ini."

Kemudian Nabi s.a.w bertanya kepada unta itu, "Hai unta, milik siapakah engkau ini ?"

Unta itu menjawab dengan kata-kata yang fasih dan terang, "Wahai Rasulullah, aku adalah milik orang Muslim ini dan sesungguhnya para saksi itu adalah dusta."

Akhirnya Rasulullah s.a.w berkata kepada orang Muslim itu, "Hai orang Muslim, beritahukan kepadaku, apakah yang engkau perbuat, sehingga Allah Taala menjadikan unta ini dapat bercakap perkara yang benar."

Jawab orang Muslim itu, "Wahai Rasulullah, aku tidak tidur di waktu malam sehingga lebih dahulu aku membaca selawat ke atas engkau sepuluh kali."

Rasulullah s.a.w bersabda,

"Engkau telah selamat dari hukum potong tanganmu di dunia dan selamat juga dari seksaan di akhirat nantinya dengan sebab berkatnya engkau membaca selawat untukku."

Memang membaca selawat itu sangat digalakkan oleh agama sebab pahala-pahalanya sangat tinggi di sisi Allah. Lagi pula boleh melindungi diri dari segala macam bencana yang menimpa, baik di dunia dan di akhirat nanti. Sebagaimana dalam kisah tadi, orang Muslim yang dituduh mencuri itu mendapat perlindungan daripada Allah melalui seekor unta yang menghakimkannya.

Bawang Merah dan Bawang Putih

Pada zaman dahulu kala di sebuah desa tinggal sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan seorang gadis remaja yang cantik bernama bawang putih. Mereka adalah keluarga yang bahagia. Meski ayah bawang putih hanya pedagang biasa, namun mereka hidup rukun dan damai. Namun suatu hari ibu bawang putih sakit tenat dan akhirnya meninggal dunia. Bawang putih sangat berduka demikian pula ayahnya.

Di desa itu tinggal pula seorang janda yang memiliki anak bernama Bawang Merah. Semenjak ibu Bawang putih meninggal, ibu Bawang merah sering berkunjung ke rumah Bawang putih. Dia sering membawakan makanan, membantu bawang putih membereskan rumah atau hanya menemani Bawang Putih dan ayahnya mengobrol. Akhirnya ayah Bawang putih berpikir bahwa mungkin lebih baik kalau ia menikah saja dengan ibu Bawang merah, supaya Bawang putih tidak kesepian lagi.

Dengan pertimbangan dari bawang putih, maka ayah Bawang putih menikah dengan ibu bawang merah. Awalnya ibu bawang merah dan bawang merah sangat baik kepada bawang putih. Namun lama kelamaan sifat asli mereka mulai kelihatan. Mereka kerap memarahi bawang putih dan memberinya pekerjaan berat jika ayah Bawang Putih sedang pergi berdagang. Bawang putih harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, sementara Bawang merah dan ibunya hanya duduk-duduk saja. Tentu saja ayah Bawang putih tidak mengetahuinya, karena Bawang putih tidak pernah menceritakannya.

Suatu hari ayah Bawang putih jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Sejak saat itu Bawang merah dan ibunya semakin berkuasa dan semena-mena terhadap Bawang putih. Bawang putih hampir tidak pernah beristirahat. Dia sudah harus bangun sebelum subuh, untuk mempersiapkan air mandi dan sarapan bagi Bawang merah dan ibunya. Kemudian dia harus memberi makan ternak, menyirami kebun dan mencuci baju ke sungai. Lalu dia masih harus menyetrika, membereskan rumah, dan masih banyak pekerjaan lainnya. Namun Bawang putih selalu melakukan pekerjaannya dengan gembira, karena dia berharap suatu saat ibu tirinya akan mencintainya seperti anak kandungnya sendiri.

Pagi ini seperti biasa Bawang putih membawa bakul berisi pakaian yang akan dicucinya di sungai. Dengan bernyanyi kecil dia menyusuri jalan setapak di pinggir hutan kecil yang biasa dilaluinya. Hari itu cuaca sangat cerah. Bawang putih segera mencuci semua pakaian kotor yang dibawanya. Saking terlalu asyiknya, Bawang putih tidak menyadari bahwa salah satu baju telah hanyut terbawa arus. Celakanya baju yang hanyut adalah baju kesayangan ibu tirinya. Ketika menyadari hal itu, baju ibu tirinya telah hanyut terlalu jauh. Bawang putih mencoba menyusuri sungai untuk mencarinya, namun tidak berhasil menemukannya. Dengan putus asa dia kembali ke rumah dan menceritakannya kepada ibunya.

“Dasar ceroboh!” bentak ibu tirinya. “Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus mencari baju itu! Dan jangan berani pulang ke rumah kalau kau belum menemukannya. Mengerti?”

Bawang putih terpaksa menuruti keinginan ibun tirinya. Dia segera menyusuri sungai tempatnya mencuci tadi. Matahari sudah mulai meninggi, namun Bawang putih belum juga menemukan baju ibunya. Dia memasang matanya, dengan teliti diperiksanya setiap juluran akar yang menjorok ke sungai, siapa tahu baju ibunya tersangkut disana. Setelah jauh melangkah dan matahari sudah condong ke barat, Bawang putih melihat seorang penggembala yang sedang memandikan kerbaunya. Maka Bawang putih bertanya: “Wahai paman yang baik, apakah paman melihat baju merah yang hanyut lewat sini? Karena saya harus menemukan dan membawanya pulang.” “Ya tadi saya lihat nak. Kalau kamu mengejarnya cepat-cepat, mungkin kau bisa mengejarnya,” kata paman itu.

“Baiklah paman, terima kasih!” kata Bawang putih dan segera berlari kembali menyusuri. Hari sudah mulai gelap, Bawang putih sudah mulai putus asa. Sebentar lagi malam akan tiba, dan Bawang putih. Dari kejauhan tampak cahaya lampu yang berasal dari sebuah gubuk di tepi sungai. Bawang putih segera menghampiri rumah itu dan mengetuknya.
“Permisi…!” kata Bawang putih. Seorang perempuan tua membuka pintu.
“Siapa kamu nak?” tanya nenek itu.
“Saya Bawang putih nek. Tadi saya sedang mencari baju ibu saya yang hanyut. Dan sekarang kemalaman. Bolehkah saya tinggal di sini malam ini?” tanya Bawang putih.
“Boleh nak. Apakah baju yang kau cari berwarna merah?” tanya nenek.
“Ya nek. Apa…nenek menemukannya?” tanya Bawang putih.

“Ya. Tadi baju itu tersangkut di depan rumahku. Sayang, padahal aku menyukai baju itu,” kata nenek. “Baiklah aku akan mengembalikannya, tapi kau harus menemaniku dulu disini selama seminggu. Sudah lama aku tidak mengobrol dengan siapapun, bagaimana?” pinta nenek.Bawang putih berpikir sejenak. Nenek itu kelihatan kesepian. Bawang putih pun merasa iba. “Baiklah nek, saya akan menemani nenek selama seminggu, asal nenek tidak bosan saja denganku,” kata Bawang putih dengan tersenyum.

Selama seminggu Bawang putih tinggal dengan nenek tersebut. Setiap hari Bawang putih membantu mengerjakan pekerjaan rumah nenek. Tentu saja nenek itu merasa senang. Hingga akhirnya genap sudah seminggu, nenek pun memanggil bawang putih.
“Nak, sudah seminggu kau tinggal di sini. Dan aku senang karena kau anak yang rajin dan berbakti. Untuk itu sesuai janjiku kau boleh membawa baju ibumu pulang. Dan satu lagi, kau boleh memilih satu dari dua labu kuning ini sebagai hadiah!” kata nenek.
Mulanya Bawang putih menolak diberi hadiah tapi nenek tetap memaksanya. Akhirnya Bawang putih memilih labu yang paling kecil. “Saya takut tidak kuat membawa yang besar,” katanya. Nenek pun tersenyum dan mengantarkan Bawang putih hingga depan rumah.

Sesampainya di rumah, Bawang putih menyerahkan baju merah milik ibu tirinya sementara dia pergi ke dapur untuk membelah labu kuningnya. Alangkah terkejutnya bawang putih ketika labu itu terbelah, didalamnya ternyata berisi emas permata yang sangat banyak. Dia berteriak saking gembiranya dan memberitahukan hal ajaib ini ke ibu tirinya dan bawang merah yang dengan serakah langsun merebut emas dan permata tersebut. Mereka memaksa bawang putih untuk menceritakan bagaimana dia bisa mendapatkan hadiah tersebut. Bawang putih pun menceritakan dengan sejujurnya.

Mendengar cerita bawang putih, bawang merah dan ibunya berencana untuk melakukan hal yang sama tapi kali ini bawang merah yang akan melakukannya. Singkat kata akhirnya bawang merah sampai di rumah nenek tua di pinggir sungai tersebut. Seperti bawang putih, bawang merah pun diminta untuk menemaninya selama seminggu. Tidak seperti bawang putih yang rajin, selama seminggu itu bawang merah hanya bermalas-malasan. Kalaupun ada yang dikerjakan maka hasilnya tidak pernah bagus karena selalu dikerjakan dengan asal-asalan. Akhirnya setelah seminggu nenek itu membolehkan bawang merah untuk pergi. “Bukankah seharusnya nenek memberiku labu sebagai hadiah karena menemanimu selama seminggu?” tanya bawang merah. Nenek itu terpaksa menyuruh bawang merah memilih salah satu dari dua labu yang ditawarkan. Dengan cepat bawang merah mengambil labu yang besar dan tanpa mengucapkan terima kasih dia melenggang pergi.

Sesampainya di rumah bawang merah segera menemui ibunya dan dengan gembira memperlihatkan labu yang dibawanya. Karena takut bawang putih akan meminta bagian, mereka menyuruh bawang putih untuk pergi ke sungai. Lalu dengan tidak sabar mereka membelah labu tersebut. Tapi ternyata bukan emas permata yang keluar dari labu tersebut, melainkan binatang-binatang berbisa seperti ular, kalajengking, dan lain-lain. Binatang-binatang itu langsung menyerang bawang merah dan ibunya hingga tewas. Itulah balasan bagi orang yang serakah.

Anak Kambing dan Serigala



Seekor anak kambing yang sangat lincah telah ditinggalkan oleh penggembalanya di atas atap jerami kandang untuk menghindari anak kambing itu dari bahaya. Anak kambing itu mencari rumput di pinggir atap, dan saat itu dia melihat seekor serigala dan memandang serigala itu dengan raut muka yang penuh dengan ejekan dan dengan perasaan yang penuh kemenangan, dia mulai mengejek serigala tersebut, walaupun pada saat itu dia tidak ingin mengejek sang Serigala, tetapi karena dia merasa serigala tersebut tidak akan dapat naik ke atas atap dan menangkapnya, timbullah keberaniannya untuk mengejek.

Serigala itupun menatap anak kambing itu dari bawah, "Saya mendengarmu," kata sang Serigala, "dan saya tidak mendendam pada apa yang kamu katakan atau kamu lakukan ketika kamu diatas sana, karena itu adalah atap yang berbicara dan bukan kamu."

Jangan kamu berkata sesuatu yang tidak kamu ingin katakan terus menerus

Burung Bangau Dengan Seekor Ketam

Pada zaman dahulu terdapat sebuah tasik yang sangat indah. Airnya sungguh jernih dan di dalamnya ditumbuhi oleh pokok-pokok teratai yang berbunga sepanjang masa. Suasana di sekitar tasik tersebut sungguh indah. Pokok-pokok yang tumbuh di sekitarnya hidup dengan subur. Banyak burung yang tinggal di kawasan sekitar tasik tersebut. Salah seekornya adalah burung bangau. Manakala di dalam tasih hidup bermacam-macam ikan dan haiwan lain. Ada ikan telapia sepat, kelah, keli, haruan dan bermacam-macam ikan lagi. Selain daripada ikan,terdapat juga ketam dan katak yang turut menghuni tasih tersebut.

Burung bangau sangat suka tinggal di kawasan tasik tersebut kerana ia senang mencari makan. Ikan-ikan kecil di tasik tersebut sangat jinak dan mudah ditangkap. Setiap hari burung bangau sentiasa menunggu di tepi tasik untuk menangkap ikan yang datang berhampiran dengannya.

Beberapa tahun kemudian burung bangau semakin tua. Ia tidak lagi sekuat dulu untuk menangkap ikan. Kadang- kadang ia tidak memperolehi ikan untuk dimakan menyebabkan ia berlapar seharian. Ia berfikir di dalam hatinya seraya berkata "Kalau beginilah keadaanya, aku akan mati kelaparan kerana tidak lagi berdaya untuk menangkap ikan. Aku mesti mencari jalan supaya aku dapat memperolehi makanan dengan mudah".

Burung bangau mendapat idea dan berpura-pura duduk termenung dengan perasan sedih di tebing tasik. Seekor katak yang kebetulan berada di situ ternampak bangau yang sangat murung dan sedih lalu bertanya "Kenapakah aku lihat akhir-akhir ini kamu asik termenung dan bersedih sahaja wahai bangau?". Bangau menjawab " Aku sedang memikirkan keadaan nasib kita dan semua penghuni tasih ini." "Apa yang merunsingkan kamu, sedangkan kita hidup di sini sudah sekian lama tidak menghadapi sebarang masalah." Jawab katak. "Awak manalah tahu, aku sering terbang ke sana ke mari dan mendengar manusia sedang berbincang tentang bencana kemarau yang akan menimpa kawasan ini dalam beberapa bulan lagi. Kau lihat sajalah sejak akhir-akhir ini hari panas semacam aje, hujan pun sudah lama tidak turun". Bangau menyambung lagi "Aku khuatir tasik ini akan kering dan semua penghuni di tasik ini akan mati." Katak mengangguk- ngangukkan kepalanya sebagai tanda bersetuju dengan hujah bangau tadi. Tanpa membuang masa katak terus melompat ke dalam tasik untuk memaklumkan kepada kawan-kawan yang lain.

Berita bencana kemarau telah tersebar ke seluruh tasih begitu cepat dan semua penghuni tasik berkumpul ditebing sungai dimana bangau berada. Masing-masing riuh rendah menanyakan bangau akan berita tersebut. Seekor ikan haruan bertanya kepada bangau "Apakah cadangan engkau untuk membantu kami semua?" Burung bangau berkata "Aku ada satu cadangan, tetapi aku khuatir kamu semua tidak bersetuju." "Apakah cadangan tersebut" kata haruan seolah-olah tidak sabar lagi mendengarnya. Bangau berkata " Tidak jauh dari sini ada sebuah tasik yang besar dan airnya dalam, aku percaya tasik tersebut tidak akan kering walaupun berlaku kemarau yang panjang." "Bolehkah engkau membawa kami ke sana" sampuk ketam yang berada di situ. "Aku boleh membawa kamu seekor demi seekor kerana aku sudah tua dan tidak berdaya membawa kamu lebih daripada itu" kata burung bangau lagi.. Mereka pun bersetuju dengan cadangan burung bangau.

Burung bangau mula mengangkut seekor demi seekor ikan daripada tasik tersebut, tetapi ikan- ikan tersebut tidak dipindahkan ke tasik yang dikatakannya.Malahan ia membawa ikan-ikan tersebut ke batu besar yang berhampiran dengan tasik dan dimakannya dengan lahap sekali kerana ia sudah tidak makan selama beberapa hari. Setelah ikan yang dibawanya dimakan habis, ia terbang lagi untuk mengangkut ikan yang lain. Begitulah perbuatanya sehingga sampai kepada giliran ketam. Oleh kerana ketam mempunyai sepit ia hanya bergantung pada leher burung bangau dengan menggunakan sepitnya. Apabila hampir sampai ke kawasan batu besar tersebut,ketam memandang ke bawah dan melihat tulang-tulang ikan bersepah di atas batu besar. Melihat keadaan tersebut ketam berasa cemas dan berfikir di dalam hatinya "Matilah aku kali ini dimakan oleh bangau." Lalu ia memikirkan sesuatu untuk menyelamatkan dirinya daripada ratahan bangau yang rakus. Setelah tiba di atas batu besar ketam masih lagi berpegang pada leher bangau sambil berkata "Dimanakah tasik yang engkau katakan itu dan kenapa engakau membawa aku di sini?" Bangau pun tergelak dengan terbahak-bahak lalu berkata "Kali ini telah tiba masanya engkau menjadi rezeki aku." Dengan perasaan marah ketam menyepit leher bangau dengan lebih kuat lagi menyebabkan bangau sukar untuk bernafas, sambil merayu minta di lepaskan, ia berjanji akan menghantar ketam kembali ke tasik tersebut. Ketam tidak mempedulikan rayuan bangau malah ia menyepit lebih kuat lagi sehingga leher bangau terputus dua dan bangau mati di situ jua.

Dengan perasaan gembira kerana terselamat daripada menjadi makanan bangau ia bergerak perlahan-lahan menuju ke tasik sambil membawa kepala bangau. Apabila tiba di tasik, kawan-kawannya masih lagi setia menunggu giliran masing-masing. Setelah melihat ketam sudah kembali dengan membawa kepala bangau mereka kehairanan dan ketam menceritakan kisah yang berlaku. Semua binatang di tasik tersebut berasa gembira kerana mereka terselamat daripada menjadi makanan burung bangau yang tamak dan mementingkan diri sendiri. Mereka mengucakpan terima kasih kepada ketam kerana telah menyelamatkan mereka semua.