Pages

Tuesday, October 18, 2011

Petani dan mata air ajaib...

Alkisah, seorang petani menemui sebuah mata air ajaib. Mata air itu boleh mengeluarkan kepingan wang emas yang tak terhingga banyaknya. Mata air itu boleh membuat si petani menjadi kaya raya seberapapun yang diinginkannya, sebab mata air wang emas itu hanya akan berhenti bila si petani mengucapkan perkataan “cukup”. Seketika si petani terpana melihat kepingan wang emas berjatuhan di depan matanya.

Diambilnya beberapa baldi untuk menampung wang percuma itu. Setelah semuanya penuh, dibawanya ke pondok kecilnyanya untuk disimpan disana. Pancuran wang terus mengalir sementara si petani terus mengisi semua karungnya, seluruh tempayannya, bahkan mengisi penuh rumahnya.


Masih kurang! Dia menggali sebuah lubang besar untuk menimbun emasnya. Belum cukup, dia membiarkan mata air itu terus mengalirkan wang emas hingga akhirnya petani itu mati tertimbus bersama ketamakannya kerana dia tak pernah boleh berkata cukup.

Perkataan yang paling sukar diucapkan oleh manusia kemungkinan adalah perkataan “cukup”. Bilakah kita boleh berkata cukup? Hampir semua pegawai merasakan gajinya belum boleh dikatakan sepadan dengan kerja kerasnya.

Peniaga hampir selalu merasakan keuntungan perniagaanya masih di bawah target. Isteri mengeluh suaminya kurang beri perhatian padanya. Suami berpendapat isterinya kurang mengerti kehendaknya. Anak-anak menganggap orang tuanya kurang murah hati.

Semua merasa kurang dan kurang. Bilakah kita boleh berkata cukup?

Cukup bukanlah pasal berapa jumlahnya. Cukup adalah persoalan kepuasan hati. Cukup hanya boleh diucapkan oleh orang yang boleh bersyukur. Tak perlu takut berkata cukup.

Mengucapkan perkataan cukup bukan bererti kita berhenti berusaha dan berkerja. “Cukup” jangan diertikan sebagai keadaan berpuas hati.

Mengucapkan perkataan cukup membuat kita melihat apa yang telah kita terima, bukan apa yang belum kita dapatkan. Jangan biarkan kerakusan manusia membuat kita sukar berperkataan cukup. Belajarlah mencukupkan diri dengan apa yang ada pada diri kita hari ini, maka kita akan menjadi manusia yang berbahagia.

Belajarlah untuk mengucapkan perkataan “Cukup” .

Mandikan Aku Bonda

Di bawah ini adalah salah satu contoh tragis. Sering kali orang tidak mensyukuri apa yang diMILIKInya sampai akhirnya... .

Rani, sebut saja begitu namanya. Kawan kuliah ini berotak cemerlang dan memiliki idealisme tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik, di bidang akademik maupun profesion yang akan diceburinya. ''Why not the best,'' katanya selalu, mengutip ucapan seorang mantan presiden Amerika.

Ketika Universiti menghantar mahasiswa untuk studi International Law di Universiteit Utrecht , Belanda, Rani termasuk salah satunya. Saya lebih memilih menyelesaikan pendidikan kedoktoran. Berikutnya, Rani mendapat pendamping yang ''selevel''; sama-sama berprestasi, meski berbeda profesion.

Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani dilantik sebagai staf diplomat, bertepatan dengan selesainya suami dia meraih PhD. Lengkaplah kebahagiaan mereka. Konon, nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah ''alif'' dan huruf terakhir ''ya'', jadilah nama yang enak didengar: Alifya. Saya tak sempat mengira, apa mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir.

Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila. Bak garuda, hampir setiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain.

Sebenarnya saya pernah bertanya, ''Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal? '' Dengan pantas Rani menjawab, ''Oh, saya sudah mengandaikan segala sesuatunya. Everything is OK!'' Ucapannya itu betul-betul ia buktikan. Layanan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter "mahal". Rani cuma mengawal jadual Alif melalui telefon. Alif membesar menjadi anak yang kelihatan lincah, cerdas dan mudah mengerti.

Nenek-neneknya selalu menonjolkan kebanggaan mereka kepada cucu yang amat dikasihi itu, tentang kehebatan ibu-bapanya. Tentang jawatan dan nama besar, tentang kekerapan menaiki pesawat, dan wan g yang banyak. ''Contohlah ayah-bonda Alif, kalau Alif besar nanti.'' Begitu selalu nenek Alif, ibu Rani, berpesan di akhir cerita sebelum tidurnya. Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik. Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya kembali menagih pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Sungguh anak kecil ini "memahami" orang tuanya. Buktinya, kata Rani, ia tak lagi merengek minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karaktor ibunya yang bukan perengek.

Meski kedua orangtuanya kerap pulang lewat, ia jarang sekali merungut.Bahkan, kata Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Rani menyapanya ''malaikat kecilku''.

Sungguh keluarga yang bahagia, fikir saya. Meskipun kedua orangtuanya super sibuk, Alif tetap membesar penuh cinta. Diam-diam, saya irihati pada keluarga ini. Suatu hari, sebelum Rani berangkat ke pejabat, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby sitter. "Alif ingin Bonda mandikan", ujarnya penuh harapan. Serba salah saja Rani, yang setiap detik waktunya sangat berharga, gusar. Ia menolek permintaan Alif sambil terus berdandan dan mempersiapkan keperluan pejabatnya. Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya.

Sesungguhnya, Alif mengerti dan menurut, meskipun wajahnya berkerut. Peristiwa ini berulang sampai hampir seminggu. ''Bonda, mandikan aku!'' kian lama suara Alif penuh tekanan. Lalu, Rani dan suaminya berfikir, mungkin itu kerana Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dipujuk-pujuk, akhirnya Alif dapat ditinggal juga.

Pada satu petang, saya dikejutkan oleh telefon Mien, si baby sitter. 'Puan doktor, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency." Dengan pantas, saya terus ke ICU. But it was too late. Allah swt sudah punya rencana lain. Alif, si malaikat kecil, telah dipanggil pulang oleh-Nya.

Rani, ketika diberi tahu tentang Alif, sedang meresmikan pejabat barunya. Ia sangat terperanjat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan putranya. Setelah seminggu Alif mula menuntut dimandikan, Rani memang menyimpan komitmen untuk suatu masa memandikan anaknya sendiri.

Dan siang itu, janji Rani terkabul, meskipun setelah tubuh si kecil terbaring kaku. ''Ini Bonda Lif, Bonda mandikan Alif,'' ucapnya lemah, di tengah-tangah jamaah yang sunyi. Satu persatu rakan Rani menjauhi dari sisinya, berusaha menyembunyikan tangisan.

Ketika tanah merah telah menutup jasad si kecil, kami masih berdiri di sisi pusara. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu, berkata, ''Ini sudah takdir, ya kan . Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah masanya, ia dia pergi juga kan ?" Saya diam saja.

Rasanya Rani memang tak memerlukan hiburan dari orang lain. Suaminya tegak seperti tak bernyawa. Wajahnya pucat, pandangannya kosong. "Ini konsekuensi dari sebuah pilihan," ujar Rani, tetap mencuba tegar dan kuat. Hening seketika. Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja.

Tiba-tiba Rani berlutut. "Aku ibunyaaa!" teriaknya seperti histeria, lalu meraung hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis, lebih-lebih lagi tangisan yang meledak. "Bangunlah Lif, Bonda mau mandikan Alif. Beri kesempatan Bonda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif.." Rani merintih merayu-hiba. Seketika kemudian, ia mencampakkan dirinya ke pusara dan tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Alif. Senja pun makin tua.

-- Nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak lagi dapat menolongnya. -- Hal yang nampaknya mudah sering kali menimbulkan sesal dan kehilangan yang amat sangat. -- Sering kali orang yang sibuk 'di luar', asik dengan dunianya dan ambition sendiri hingga mengabaikan orang-orang disampingnya yang disayanginya. Akan masih ada waktu 'nanti' buat mereka jadi abaikan saja dulu. -- Sering kali orang takabur dan merasa yakin bahawa pengertian dan kasih sayang yang diterimanya tidak akan hilang. Merasa mereka akan mengerti kerana mereka menyayanginya dan tetap akan ada. -- Pelajaran yang sangat menyedihkan.

Kisah Perangkap Tikus

Sepasang suami dan isteri petani pulang kerumah setelah berbelanja. Ketika mereka membuka barang belanjaan, seekor tikus memperhatikan gelagat sambil menggumam, “hmmm… makanan apa lagi yang dibawa mereka dari pasar agaknya?”
Ternyata, yang dibeli oleh petani hari itu adalah perangkap tikus. Sang tikus naik panik bukan kepalang.
Ia bergegas lari ke sarang dan bertempik, “Ada perangkap tikus di rumah! Di rumah sekarang ada perangkap tikus!!”
Ia pun mengadu kepada ayam dan berteriak, “Ada perangkat tikus!” Sang Ayam berkata, ” Tuan Tikus, Aku turut bersedih tapi ia tak ada kena-mengena dengan aku.”
Sang Tikus lalu pergi menemui seekor kambing sambil berteriak seperti tadi. Sang Kambing pun jawab selamba, “aku pun turut bersimpati, tapi tidak ada yang boleh aku buat. Lagi pun tak tak ada kena-mengena dengan aku.”
Tikus lalu menemui lembu. Ia mendapat jawapan sama. “Maafkan aku. Tapi perangkap tikus tidak berbahaya buat aku sama sekali. Takkanlah sebesar aku ni boleh masuk perangkap tikus?”
Dengan rasa kecewa ia pun berlari ke hutan menemui ular. Sang ular berkata, “Eleh engkau ni. Perangkap tikus yang sekecil itu takkanlah nak membahayakan aku.”
Akhirnya Sang Tikus kembali ke rumah dengan pasrah kerana mengetahui ia akan menghadapi bahaya seorang diri. Suatu malam, pemilik rumah terbangun mendengar suara berdetak perangkap tikusnya berbunyi menandakan umpan dah mengena. Ketika melihat perangkap tikusnya, ternyata seekor ular berbisa yang jadi mangsa. Buntut ular yang terperangkap membuatkan ular itu semakin ganas dan menyerang isteri pemilik rumah.
Walaupun si Suami sempat membunuh ular berbisa tersebut, isterinya tidak sempat diselamatkan. Si suami pun membawa isterinya ke klinik berhampiran. Beberapa hari kemudian isterinya sudah boleh pulang namun tetap sahaja demam.
Isterinya lalu minta dibuatkan sup kaki ayam oleh suaminya kerana percaya sup kaki ayam boleh mengurangkan demam. Tanpa berfikir panjang si Suami pun dengan segera menyembelih ayamnya untuk dapatkan kaki buat sup.
Beberapa hari kemudian sakitnya tidak kunjung reda. Seorang teman menyarankan untuk makan hati kambing. Ia lalu menyembelih kambingnya untuk mengambil hatinya. Masih juga isterinya tidak sembuh-sembuh dan akhirnya meninggal dunia. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Banyak sungguh orang datang melawat jenazahnya. Kerana rasa sayang suami pada isterinya, tak sampai hati pula dia melihat orang ramai tak dijamu apa-apa. Tanpa berfikir panjang dia pun menyembelih lembunya untuk memberi makan orang-orang yang berziarah.
Dari kejauhan, Sang Tikus menatap dengan penuh kesedihan. Beberapa hari kemudian ia melihat perangkap tikus tersebut sudah tidak digunakan lagi.
Begitulah kisahnya. Jadi pengajarannya, jika suatu hari, anda mendengar seseorang dalam kesusahan dan anda pula mengira itu bukan urusan anda, fikirkanlah sekali lagi.

Kisah Dakwah Si Anak Kecil

Pada setiap Jumaat, selepas selesai menunaikan solat Jumaat, seorang Imam dan anaknya yang berumur 7 tahun akan berjalan menyusuri jalan di kota itu dan menyebarkan risalah dakwah bertajuk “Jalan-jalan Syurga” dan beberapa karya Islamik yang lain.
Pada satu Jumaat yang indah, pada ketika Imam dan anaknya itu hendak keluar seperti biasa meghulurkan risalah-risalah Islam itu, hari itu menjadi amat dingin dan hujan mulai turun.

Anak kecil itu mula membetulkan jubahnya seraya berkata “Ayah! Saya dah bersedia”

Ayahnya terkejut dan berkata “Bersedia untuk apa?”.
“Ayah bukankah ini masanya kita akan keluar menyampaikan risalah Allah”
“Anakku! Bukankah sejuk keadaan di luar tu dan hujan juga agak lebat”
“Ayah bukankah masih ada manusia yang akan masuk neraka walaupun ketika hujan turun”
Ayahnya menambah “Ayah tidak bersedia hendak keluar dalam keadaan cuaca sebegini”
Dengan merintih anaknya merayu “Kalau begitu, benarkan saya pergi ayah?”
Ayahnya berasa agak ragu-ragu namun menyerahkan risalah-risalah itu kepada anaknya.
“Pergilah nak dan berhati-hatilah. Allah bersama-sama kamu!”
“Terima kasih Ayah” Dengan wajah bersinar-sinar anaknya itu pergi meredah hujan dan susuk tubuh kecil itu hilang dalam kelebatan hujan itu.
Anak kecil itu pun menyerahkan risalah-risalah tersebut kepada sesiapa pun yang dijumpainya. Begitu juga dia akan mengetuk setiap rumah dan memberikan risalah itu kepada penghuninya.
Setelah dua jam, hanya tinggal satu saja risalah “Jalan-jalan Syurga” ada pada tangannya. Dia berasakan tanggungjawabnya tidak akan selesai jika masih ada risalah di tangannya. Dia berpusing-pusing ke sana dan ke mari mencari siapa yang akan diserahkan risalah terakhirnya itu, namun gagal.
Akhirnya dia ternampak satu rumah yang agak terperosok di jalan itu dan mula mengatur langkah menghampiri rumah itu. Apabila sampai sahaja anak itu di rumah itu, lantas ditekannya loceng rumah itu sekali.
Ditunggunya sebentar dan ditekan sekali lagi namun tiada jawapan.
Diketuk pula pintu itu namun sekali lagi tiada jawapan. Ada sesuatu yang memegangnya daripada pergi, mungkin rumah inilah harapannya agar risalah ini diserahkan.
Dia mengambil keputusan menekan loceng sekali lagi. Dan akhirnya pintu rumah itu dibuka.
Berdiri di depan pintu adalah seorang perempuan dalam lingkungan 50an.
Mukanya suram dan sedih.
“Nak, apa yang makcik boleh bantu?”
Wajahnya bersinar-sinar seolah-olah malaikat yang turun dari langit.
“Makcik, maaf saya mengganggu, saya hanya ingin menyatakan yang ALLAH amat sayangkan makcik dan sentiasa memelihara makcik. Saya datang ini hanya hendak menyerahkan risalah akhir ini dan makcik adalah orang yang paling bertuah”. Dia senyum dan tunduk hormat sebelum melangkah pergi.

“Terima kasih nak dan Tuhan akan melindungi kamu.” kata makcik itu dalam nada yang penuh lembut.

Minggu berikutnya sebelum khutbah solat Jumaat bermula, seperti biasa Imam memberikan sedikit tazkirah.
Sebelum selesai tazkirahnya dia bertanya “Ada sesiapa nak bertanya atau menyatakan sesuatu.”

Tiba-tiba sekujur tubuh bangun dengan perlahan dan berdiri. Dia adalah
perempuan separuh umur itu.

“Saya rasa tiada sesiapa dalam perhimpunan ini yang kenal saya. Saya tak pernah hadir ke majlis ini walaupun sekali. Untuk pengetahuan anda, sebelum Jumaat minggu lepas saya bukan seorang Muslim. Suami saya meninggal beberapa tahun lepas dan meninggalkan saya keseorangan
dalam dunia ini”. Air mata mulai bergenang di kelopak matanya.
“Pada Jumaat minggu lepas saya mengambil keputusan untuk membunuh diri. Jadi saya ambil kerusi dan tali. Saya letakkan kerusi di atas tangga menghadap anak tangga menuruni. Saya ikat hujung tali di galang atas dan hujung satu lagi diketatkan di leher.
Apabila tiba saat saya untuk terjun, tiba-tiba loceng rumah saya berbunyi. Saya tunggu sebentar, pada anggapan saya, siapa pun yang menekan itu akan pergi jika tidak dijawab. Kemudian ia berbunyi lagi. Kemudian saya mendengar ketukan dan loceng ditekan sekali lagi”.
“Saya bertanya sekali lagi. Belum pernah pun ada orang yang tekan loceng ini setelah sekian lama. Lantas saya melonggarkan tali di leher dan terus pergi ke pintu”
“Seumur hidup saya belum pernah saya melihat anak yang comel itu. Senyumannya benar-benar ikhlas dan suaranya seperti malaikat”.
“Makcik, maaf saya mengganggu, saya hanya ingin menyatakan yang ALLAH amat sayangkan makcik dan sentiasa memelihara makcik” itulah kata-kata yang paling indah yang saya dengar”.
“Saya melihatnya pergi kembali menyusuri hujan. Saya kemudian menutup pintu dan terus baca risalah itu setiap muka surat. Akhirnya kerusi dan tali yang hampir-hampir menyentap nyawa saya diletakkan semula ditempat asal mereka…..Aku tak perlukan itu lagi”.
“Lihatlah, sekarang saya sudah menjadi seorang yang bahagia, yang menjadi hamba kepada Tuhan yang satu, ALLAH Maha Esa.
Di belakang risalah terdapat alamat ini dan itulah sebabnya saya di sini hari ini. Jika tidak disebabkan malaikat kecil yang datang pada hari itu tentunya roh saya ini akan berada selama-lamanya di dalam neraka”

Semua para jemaah mengalirkan air mata. Mereka mengucap syukur pada Allah. Ramai juga yang bertakbir, ALLAHUAKBAR!
Imam lantas meluru menuju ke arah anaknya dan terus memeluk anaknya yang berada di bahagian saf hadapan dan menangis sesungguh-sungguh hatinya.
Jumaat ini dikira Jumaat yang paling indah dalam hidupnya. Tiada anugerah yang amat besar dari apa yang dia ada pada hari ini. Iaitu anugerah yang sekarang berada di dalam pelukannya. Seorang anak yang seumpama malaikat.

Monday, October 17, 2011

Batu besar dan batu kecil...

Satu hari seorang pensyarah sedang memberi kuliah tentang pengurusan masa kepada mahasiswa. Dengan penuh semangat ia berdiri depan kelas dan berkata. “Okay. Sekarang masa untuk quiz.” Kemudian ia mengeluarkan sebuah baldi yang kosong dan meletakkannya di meja. Kemudian ia mengisi baldi tersebut dengan batu-batu yang besar.

Dia terus mengisi batu sehingga tidak ada lagi batu yang muat untuk dimasukkan ke dalam baldi, dia bertanya pada kelas, “Menurut anda, adakah baldi ini sudah penuh?” Semua pelajar serentak berkata, “Ya!”


Cikgu bertanya kembali. “Betulkah”? “Kemudian dari dalam meja ia mengeluarkan sebekas batu kerikil kecil, lalu menuangkan kerikil-kerikil itu ke dalam baldi lalu menggoncang-goncang baldi itu sehingga batu kerikil itu turun ke bawah mengisi celah-celah kosong di antara batu-batu besar.

Kemudian, sekali lagi ia bertanya pada kelas, “Ok, adakah sekarang baldi ni dah penuh?” Kali ini para pelajar terdiam. Seseorang menjawab, “Mungkin tidak.” “Bagus..” sahut pensyarah.

Kemudian dia mengeluarkan sekantung pasir dan menuangkannya ke dalam baldi. Pasir itu jatuh mengisi di celah-celah ruang kosong antara batu dan kerikil. Sekali lagi, ia bertanya pada kelas,
“Baiklah, sekarang baldi ini sudah penuh?”

“Belum!” jawab seluruh kelas.

Sekali lagi dia berkata, “Bagus…” Kemudian dia mengeluarkan sebotol air dan mulai menuangkan airnya ke dalam baldi sampai ke penuh.

Ok sekarang lihat eksperimen kedua saya,dia pun memasukkan air terlebih dahulu sehingga , kemudian meletakkan sekantung pasir dan batu kerikil. Baldi itu kelihatan sudah penuh sehingga dia hanya dapat meletakkan sedikit sahaja batu-batu besar. Banyak lagi batu besar tidak dapat dimasukkan ke dalam baldi. Dia cuba menyumbat dan menggoncang baldi tetapi masih ada banyak lagi baki batu besar yang tidak boleh dimasukkan.

Lalu dia berpusing ke kelas dan bertanya, ‘Tahukah anda apa maksud illustrasi ini?”

Kenyataan dari batu dan baldi ini mengajarkan pada kita bahawa:

Bila anda tidak memasukkan “batu besar” terlebih dahulu, maka anda tidak akan boleh memasukkan semuanya.”

Apa yang dimaksudkan dengan “batu besar” dalam hidup anda? keluarga anda, pelajaran anda,ibadat anda, pekerjaan anda dan perkara yang penting dalam hidup anda seperti kesihatan anda, kawan-kawan anda dan yang seharusnya dijadikan prioriti utama dalam hidup anda.

Ingatlah supaya memasukkan “Batu Besar” dahulu sebelum batu-batu kecil atau anda akan kehilangan semuanya. Bila anda mengisinya dengan perkara-perkara kecil (seperti kerikil dan pasir) maka hidup anda akan penuh dengan perkara-perkara kecil yang merisaukan dan ini sepatutnya tidak perlu seperti bermain games,facebook, melepak dan sebagainya sehingga masa anda terbuang begitu sahaja sehari sedangkan anda tidak memenuhkan ‘baldi’ anda dengan batu besar.

Kerana dengan demikian anda tidak akan pernah memiliki masa yang cukup untuk perkara-perkara yang besar dan penting.

Oleh kerana itu, setiap pagi atau malam, ketika akan merenungkan cerita pendek ini, tanyalah pada diri anda sendiri: “Apakah batu besar-batu besar dalam hidup saya?” dan buatlah perkara itu dahulu

Mana mak ?

Jam 6.30 petang.

Mak berdiri di depan pintu. Wajah Mak kelihatan resah. Mak tunggu adik bongsu balik dari sekolah agama.

Ayah baru balik dari sawah.

Ayah tanya Mak, “Along mana?’

Mak jawab, “ Ada di dapur tolong siapkan makan.”

Ayah tanya Mak lagi,” Angah mana?”

Mak jawab, “Angah mandi, baru balik main bola.”

Ayah tanya Mak, “Ateh mana?”

Mak jawab, “Ateh, Kak Cik tengok tv dengan Alang di dalam?”

Ayah tanya lagi, “Adik dah balik?”

Mak jawab, “Belum. Patutnya dah balik. Basikal adik rosak kot. Kejap lagi kalau tak balik juga jom kita pergi cari Adik.”

Mak jawab soalan ayah penuh yakin. Tiap-tiap hari ayah tanya soalan yang sama. Mak jawab penuh perhatian. Mak ambil berat di mana anak-anak Mak dan bagaimana keadaan anak-anak Mak setiap masa dan setiap ketika.

Dua puluh tahun kemudian,

Jam 6.30 petang

Ayah balik ke rumah. Baju ayah basah. Hujan turun sejak tengahari.

Ayah tanya Along, “Mana Mak?”

Along sedang membelek-belek baju barunya. Along jawab, “Tak tahu.”

Ayah tanya Angah, “Mana Mak?”

Angah menonton tv. Angah jawab, “Mana Angah tahu.”

Ayah tanya Ateh, “Mana Mak?”

Ayah menunggu lama jawapan dari Ateh yang asyik membaca majalah.

Ayah tanya Ateh lagi, "Mana Mak?"

Ateh menjawab, “Entah.”

Ateh terus membaca majalah tanpa menoleh kepada Ayah.

Ayah tanya Alang, “Mana Mak?”

Alang tidak jawab. Alang hanya mengoncang bahu tanda tidak tahu.

Ayah tidak mahu tanya Kak Cik dan Adik yang sedang melayan facebook. Ayah tahu yang Ayah tidak akan dapat jawapan yang ayah mahu.

Tidak ada siapa tahu di mana Mak. Tidak ada siapa merasa ingin tahu di mana Mak. Mata dan hati anak-anak Mak tidak pada Mak. Hanya mata dan hati Ayah yang mencari-cari di mana Mak.

Tidak ada anak-anak Mak yang tahu setiap kali ayah bertanya, "Mana Mak?"

Tiba-tiba adik bungsu bersuara, “Mak ni dah senja-senja pun merayap lagi. Tak reti nak balik!!”

Tersentap hati Ayah mendengar kata-kata Adik.

Dulu anak-anak Mak akan berlari mendakap Mak apabila balik dari sekolah. Mereka akan tanya "Mana Mak?" apabila Mak tidak menunggu mereka di depan pintu.

Mereka akan tanya, "Mana Mak." Apabila dapat nomor 1 atau kaki melecet main bola di padang sekolah. Mak resah apabila anak-anak Mak lambat balik. Mak mahu tahu di mana semua anak-anaknya berada setiap waktu dan setiap ketika.

Sekarang anak-anak sudah besar. Sudah lama anak-anak Mak tidak bertanya 'Mana Mak?"

Semakin anak-anak Mak besar, soalan "Mana Mak?" semakin hilang dari bibir anak-anak Mak .

Ayah berdiri di depan pintu menunggu Mak. Ayah resah menunggu Mak kerana sudah senja sebegini Mak masih belum balik. Ayah risau kerana sejak akhir-akhir ini Mak selalu mengadu sakit lutut.

Dari jauh kelihatan sosok Mak berjalan memakai payung yang sudah uzur. Besi-besi payung tercacak keluar dari kainnya. Hujan masih belum berhenti. Mak menjinjit dua bungkusan plastik. Sudah kebiasaan bagi Mak, Mak akan bawa sesuatu untuk anak-anak Mak apabila pulang dari berjalan.

Sampai di halaman rumah Mak berhenti di depan deretan kereta anak-anak Mak. Mak buangkan daun-daun yang mengotori kereta anak-anak Mak. Mak usap bahagian depan kereta Ateh perlahan-lahan. Mak rasakan seperti mengusap kepala Ateh waktu Ateh kecil. Mak senyum. Kedua bibir Mak diketap repat. Senyum tertahan, hanya Ayah yang faham. Sekarang Mak tidak dapat lagi merasa mengusap kepala anak-anak seperti masa anak-anak Mak kecil dulu. Mereka sudah besar. Mak takut anak Mak akan menepis tangan Mak kalau Mak lakukannya.

Lima buah kereta milik anak-anak Mak berdiri megah. Kereta Ateh paling gah. Mak tidak tahu pun apa kehebatan kereta Ateh itu. Mak cuma suka warnanya. Kereta warna merah bata, warna kesukaan Mak. Mak belum merasa naik kereta anak Mak yang ini.

Baju mak basah kena hujan. Ayah tutupkan payung mak. Mak bagi salam. Salam Mak tidak berjawab. Terketar-ketar lutut Mak melangkah anak tangga. Ayah pimpin Mak masuk ke rumah. Lutut Mak sakit lagi.

Mak letakkan bungkusan di atas meja. Sebungkus rebung dan sebungkus kueh koci pemberian Mak Uda untuk anak-anak Mak. Mak Uda tahu anak-anak Mak suka makan kueh koci dan Mak malu untuk meminta untuk bawa balik. Namun raut wajah Mak sudah cukup membuat Mak Uda faham.

Semasa menerima bungkusan kueh koci dari Mak Uda tadi, Mak sempat berkata kepada Mak Uda, "Wah berebutlah budak-budak tu nanti nampak kueh koci kamu ni."

Sekurang-kurangnya itulah bayangan Mak. Mak bayangkan anak-anak Mak sedang gembira menikmati kueh koci sebagimana masa anak-anak Mak kecil dulu. Mereka berebut dan Mak jadi hakim pembuat keputusan muktamat. Sering kali Mak akan beri bahagian Mak supaya anak-anak Mak puas makan. Bayangan itu sering singgah di kepala Mak.

Ayah suruh Mak tukar baju yang basah itu. Mak akur.

Selepas Mak tukar baju, Ayah iring Mak ke dapur. Mak ajak anak-anak Mak makan kueh koci. Tidak seorang pun yang menoleh kepada Mak. Mata dan hati anak-anak Mak sudah bukan pada Mak lagi.

Mak hanya tunduk, akur dengan keadaan.

Ayah tahu Mak sudah tidak boleh mengharapkan anak-anak melompat-lompat gembira dan berlari mendakapnya seperti dulu.

Ayah temankan Mak makan. Mak menyuap nasi perlahan-lahan, masih mengharapkan anak-anak Mak akan makan bersama. Setiap hari Mak berharap begitu. Hanya Ayah yang duduk bersama Mak di meja makan setiap malam.

Ayah tahu Mak penat sebab berjalan jauh. Siang tadi Mak pergi ke rumah Mak Uda di kampung seberang untuk mencari rebung. Mak hendak masak rebung masak lemak cili api dengan ikan masin kesukaan anak-anak Mak.

Ayah tanya Mak kenapa Mak tidak telepon suruh anak-anak jemput. Mak jawab, "Saya dah suruh Uda telepon budak-budak ni tadi. Tapi Uda kata semua tak berangkat."

Mak minta Mak Uda telepon anak-anak yang Mak tidak boleh berjalan balik sebab hujan. Lutut Mak akan sakit kalau sejuk. Ada sedikit harapan di hati Mak agar salah seorang anak Mak akan menjemput Mak dengan kereta. Mak teringin kalau Ateh yang datang menjemput Mak dengan kereta barunya. Tidak ada siapa yang datang jemput Mak.

Mak tahu anak-anak mak tidak sedar telepon berbunyi. Mak ingat kata-kata ayah , “Kita tak usah susahkan anak-anak. Selagi kita mampu kita buat saja sendiri apa-apa pun. Mereka ada kehidupan masing-masing. Tak payah sedih-sedih. Maafkan sajalah anak-anak kita. Tak apalah kalau tak merasa menaiki kereta mereka sekarang. Nanti kalau kita mati kita masih ada peluang merasa anak-anak mengangkat kita kat bahu mereka.”

Mak faham buah hati Mak semua sudah besar. Along dan Angah sudah beristeri. Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik masing-masing sudah punya buah hati sendiri yang sudah mengambil tempat Mak di hati anak-anak Mak.

Pada suapan terakhir, setitik air mata Mak jatuh ke pinggan.

Kueh koci masih belum diusik oleh anak-anak Mak.

Beberapa tahun kemudian

Mak Uda tanya Along, Angah, Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik, “Mana mak?”.

Hanya Adik yang jawab, “Mak dah tak ada.”

Along, Angah, Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik tidak sempat melihat Mak waktu Mak sakit.

Kini Mak sudah berada di sisi Tuhannya bukan di sisi anak-anak Mak lagi.

Dalam isakan tangis, Along, Angah, Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik menerpa kubur Mak. Hanya batu nisan yang berdiri terpacak. Batu nisan Mak tidak boleh bersuara. Batu nisan tidak ada tangan macam tangan Mak yang selalu memeluk erat anak-anaknya apabila anak-anak datang menerpa Mak semasa anak-anak Mak kecil dulu.

Mak pergi semasa Along, Angah, Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik berada jauh di bandar. Kata Along, Angah, Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik mereka tidak dengar handphone berbunyi semasa ayah telepon untuk beritahu mak sakit tenat.

Mak faham, mata dan telinga anak-anak Mak adalah untuk orang lain bukan untuk Mak.

Hati anak-anak Mak bukan milik Mak lagi. Hanya hati Mak yang tidak pernah diberikan kepada sesiapa, hanya untuk anak-anak Mak..

Mak tidak sempat merasa diangkat di atas bahu anak-anak Mak. Hanya bahu ayah yang sempat mengangkat jenazah Mak dalam hujan renyai.

Ayah sedih sebab tiada lagi suara Mak yang akan menjawab soalan Ayah,

"Mana Along?" , "Mana Angah?", "Mana Ateh?", "Mana Alang?", "Mana Kak Cik?" atau "Mana Adik?". Hanya Mak saja yang rajin menjawab soalan ayah itu dan jawapan Mak memang tidak pernah silap. Mak sentiasa yakin dengan jawapannya sebab mak ambil tahu di mana anak-anaknya berada pada setiap waktu dan setiap ketika. Anak-anak Mak sentiasa di hati Mak tetapi hati anak-anak Mak ada orang lain yang mengisinya.

Ayah sedih. Di tepi kubur Mak, Ayah bermonolog sendiri, "Mulai hari ini tidak perlu bertanya lagi kepada Along, Angah, Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik , "Mana mak?" "

Kereta merah Ateh bergerak perlahan membawa Ayah pulang. Along, Angah, Alang dan Adik mengikut dari belakang. Hati ayah hancur teringat hajat Mak untuk naik kereta merah Ateh tidak kesampaian. Ayah terbayang kata-kata Mak malam itu, "Cantiknya kereta Ateh, kan Bang? Besok-besok Ateh bawalah kita jalan-jalan kat Kuala Lumpur tu. Saya akan buat kueh koci buat bekal."

"Ayah, ayah ....bangun." Suara Ateh memanggil ayah . Ayah pengsan sewaktu turun dari kereta Ateh..

Terketar-ketar ayah bersuara, "Mana Mak?"

Ayah tidak mampu berhenti menanya soalan itu. Sudah 10 tahun Mak pergi namun soalan "Mana Mak?" masih sering keluar dari mulut Ayah sehingga ke akhir usia.

Sebuah cerita pendek buat tatapan anak-anak yang kadang-kadang lupa perasaan ibu. Kata orang hidup seorang ibu waktu muda dilambung resah, apabila tua dilambung rasa. KataRasulullah saw. ibu 3 kali lebih utama dari ayah . Bayangkanlah berapa kali ibu lebih utama dari isteri, pekerjaan dan anak-anak sebenarnya. Solat sunat pun Allah suruh berhenti apabila ibu memanggil. Berapa kerapkah kita membiarkan deringan telefon panggilan dari ibu tanpa berjawab?

Ps: Ingat, kita cuma ada 1 sahaja ibu dan ayah di dunia ini. Jangan sampai apabila mereka sudah tiada, barulah kita hendak menangis.

Suatu Kisah Yang Sedih

20 tahun yang lalu saya melahirkan seorang bayi laki-laki, wajahnya comel tetapi nampak bodoh. Ali, suamiku memberinya nama Yusri. Semakin lama semakin nampak jelas bahawa anak ini sedikit terkebelakang. Saya berniat mahu memberikannya kepada orang lain sahaja supaya dijadikan budak atau pelayan bila besar nanti. Namun Ali mencegah niat buruk itu. Akhirnya terpaksa saya membesarkannya juga.Pada tahun kedua kelahiran Yusri, saya pun melahirkan pula seorang anak perempuan yang cantik. Saya menamakannya Yasmin. Saya sangat menyayangi Yasmin, begitu juga Ali. Seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan dan membelikan pakaian anak-anak yang indah-indah. Namun tidak demikian halnya dengan Yusri. Ia hanya memiliki beberapa helai pakaian lama. Ali berniat membelikannya, namun saya selalu melarang dengan alasan tiada wang. Ali terpaksa menuruti kata saya.

Saat usia Yasmin 2 tahun, Ali meninggal dunia. Yusri sudah berumur 4 tahun ketika itu. Keluarga kami menjadi semakin miskin dengan hutang yang semakin bertambah. Saya mengambil satu tindakan yang akhirnya membuatkan saya menyesal seumur hidup. Saya pergi meninggalkan kampung kelahiran saya bersama Yasmin. Saya tinggalkan Yusri yang sedang tertidur lelap begitu saja.

Setahun.., 2 tahun.., 5 tahun.., 10 tahun.. berlalu sejak kejadian itu. Saya menikah kembali dengan Kamal, seorang bujang. Usia pernikahan kami menginjak tahun kelima. Berkat Kamal, sifat-sifat buruk saya seperti pemarah, egois dan tinggi hati, berubah sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang. Yasmin sudah berumur 15 tahun dan kami menyekolahkan dia di sekolah jururawat. Saya tidak lagi ingat berkenaan Yusri dan tiada memori yang mengaitkan saya kepadanya. Hinggalah ke satu malam, malam di mana saya bermimpi mengenai seorang anak. Wajahnya segak namun kelihatan pucat sekali. Dia melihat ke arah saya. Sambil tersenyum dia berkata;

"Makcik, makcik kenal mama saya? Saya rindu sekali pada mama!"

Sesudah berkata demikian dia mulai pergi, namun saya menahannya.

"Tunggu..., saya rasa saya kenal kamu. Siapa namamu wahai anak yang manis?"

"Nama saya Yusri, makcik."

"Yusri...? Yusri... Ya Tuhan! Benarkah engkau ni Yusri???"

Saya terus tersentak dan terbangun. Rasa bersalah, sesal dan pelbagai perasaan aneh yang lain menerpa diri saya pada masa itu juga. Tiba-tiba terlintas kembali kisah yang terjadi dulu seperti sebuah filem yang ditayangkan kembali di kepala saya. Baru sekarang saya menyedari betapa jahatnya perbuatan saya dulu. Rasanya seperti mahu mati saja saat itu.

Ya, saya patut mati..., mati..., mati...!

Ketika tinggal seinci jarak pisau yang ingin saya goreskan ke pergelangan tangan, tiba-tiba bayangan Yusri melintas kembali di fikiran saya.

Ya Yusri, mama akan menjemputmu Yusri, tunggu ya sayang !

Petang itu saya membawa dan memarkir kereta Civic biru saya di samping sebuah pondok, dan ia membuatkan Kamal berasa hairan. Beliau menatap wajah saya dan bertanya;

"Hasnah, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa kita berada di sini?"

"Oh abang, abang pasti akan membenci saya selepas saya menceritakan hal yang saya lakukan dulu."

Aku terus menceritakan segalanya sambil teresak-esak. Ternyata Tuhan sungguh baik kepada saya. Ia memberikan suami yang begitu baik dan penuh pengertian. Selepas tangisan saya reda, saya keluar dari kereta dengan diikuti oleh Kamal dari belakang. Mata saya menatap lekat pada gubuk yang terbentang dua meter di hadapan saya. Saya mula teringat yang saya pernah tinggal dalam pondok itu dan saya tinggalkannya.

Yusri.. Yusri... Di manakah engkau, nak?

Saya meninggalkan Yusri di sana 10 tahun yang lalu. Dengan perasaan sedih saya berlari menghampiri pondok tersebut dan membuka pintu yang diperbuat daripada buluh itu.

Gelap sekali.

Tidak terlihat sesuatu apapun di dalamnya!

Perlahan-lahan mata saya mulai terbiasa dengan kegelapan di dalam ruangan kecil itu. Namun saya tidak menemui sesiapapun di dalamnya. Hanya ada sehelai kain buruk yang berlonggok di lantai tanah. Saya mengambil seraya mengamatinya dengan betul-betul. Mata mulai berkaca-kaca, saya mengenali potongan kain itu. Ini adalah baju buruk yang dulu dipakai oleh Yusri setiap hari.

Beberapa saat kemudian, dengan perasaan yang sangat sedih dan bersalah, sayapun keluar dari ruangan itu. Air mata saya mengalir dengan deras. Saat itu saya hanya diam saja. Sesaat kemudian saya dan Kamal mulai menaiki kereta untuk meninggalkan tempat tersebut. Namun, saya melihat seseorang berdiri di belakang kereta kami. Saya terkejut sebab suasana saat itu gelap sekali. Kemudian terlihatlah wajah orang itu yang sangat kotor. Ternyata ia seorang wanita tua. Saya terkejut lagi apabila dengan tiba-tiba dia menegur saya. Suaranya parau.

"Heii...! Siapa kamu?! Apa yang kamu mahu?!"

Dengan memberanikan diri, saya pun bertanya;

"Ibu, apakah ibu kenal dengan seorang anak bernama Yusri yang dulunya tinggal di sini?"

Dia menjawab;

"Kalau kamu ibunya, kamu adalah perempuan terkutuk!! Tahukah kamu, 10 tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini, Yusri terus menunggu ibunya dan memanggil;

'Mama, mama!'

"Kerana tidak tahan melihat keadaannya, kadang-kadang saya memberinya makan dan mengajaknya tinggal bersama saya. Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai pemungut sampah, namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu!"

"Tiga bulan yang lalu Yusri meninggalkan sehelai kertas ini. Ia belajar menulis setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu..."

Saya pun membaca tulisan di kertas itu...

"Mama, mengapa mama tidak pernah kembali lagi...? Mama marah pada Yusri, ya? Mama, biarlah Yusri yang pergi saja, tapi mama harus berjanji mama tidak akan marah lagi pada Yusri."


Saya menjerit histeria membaca surat itu.

"Tolong bagi tahu.. di mana dia sekarang? Saya berjanji akan menyayanginya sekarang! Saya tidak akan meninggalkannya lagi! Tolonglah cakap...!!!"

Kamal memeluk tubuh saya yang terketar-ketar dan lemah.

"Semua sudah terlambat. Sehari sebelum kamu datang, Yusri sudah meninggal dunia. Dia meninggal di belakang pondok ini. Tubuhnya sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi menunggumu ia rela bertahan di belakang pondok ini tanpa berani masuk ke dalamnya. Dia takut apabila mamanya datang, mamanya akan pergi lagi apabila melihatnya ada di dalam sana. Dia hanya berharap dapat melihat mamanya dari belakang pondok ini. Meskipun hujan deras, dengan keadaannya yang lemah ia terus berkeras menunggu kamu di sana . Dosa kamu tidak akan terampun!"

Ya Allah! Ampunkanlah dosaku! Yusri, ampunkan mama nak!